Sopian Muhammad
Sebagai seorang pengusaha, dia selalu mencurahkan pikirannya demi kemajuan usahanya. Bahkan hari libur pun seringkali dimanfaatkan untuk memikirkan agar perusahaannya itu semakin maju. Bahkan diusianya yang tidak lagi tergolong muda itu, ia tidak mau memikirkan untuk segera beristri dan beranak pinak, serta tentunya untuk segera bertobat. Sebab baginya, istri hanyalah sarana untuk memenuhi kebutuhan biologis. Karena itulah ia memilih tidak beristri sehingga lebih bebas berganti-ganti perempuan yang diinginkan. Sedangkan anak, dianggapnya sebagai pembawa beban kehidupan. Adapun tobat, menurut lelaki itu adalah suatu sikap yang didasari kedunguan manusia akan adanya dosa dan neraka. Begitulah pikiran seorang laki-laki yang bernama Sasongko Mangansato. Baginya, yang terpenting dalam hidup adalah memikirkan agar bisnisnya itu mengalami kemajuan secara terus menerus sehingga keberadaan dirinya dalam pandangan status sosial kian diperhitungkan.
“Totalitas berpikir seorang pebisnis menjadi faktor teramat penting dalam menentukan nasib suatu perusahaan. Sebagai pemilik perusahaan, tentu aku harus berusaha seoptimal mungkin dalam memutuskan sesuatu agar perusahaanku selalu dalam keadaan untung. Sekalipun orang-orang menganggap keputusan itu bukan suatu hal yang bijaksana. Apalah arti sebuah kebijaksanaan apabila keputusan tersebut dapat merugikan perusahaan. Sebab dalam berbisnis semuanya harus berorientasi pada profit atau keuntungan,” tegas Sasongko.
Selama ini, Sasongko memang selalu bangga dengan pikiran-pikirannya. Baginya, berpikir untuk kemajuan perusahaan, jauh lebih penting daripada berpikir untuk meyakini keberadaan Tuhan. Apalagi, sampai menggantungkan hidupnya pada Dia.
“Berpikir itu membuahkan pengaruh yang maha besar, melebihi apapun atau siapapun. Termasuk melebihi keyakinan terhadap kemahabesaran Tuhan. Berkat kemampuanku berpikir, aku mampu mempengaruhi pesaing-pesaing bisnisku sehingga perusahaan-perusahaanku selalu diuntungkan. Dengan hasil berpikirku, aku juga dengan mudah mempengaruhi bawahan dan karyawan-karyawanku agar mereka selalu mementingkan kemajuan perusahaan. Jika mereka tidak bersedia, atau malah membangkang, tinggal pecat saja tanpa perlu memberikan pesangon. Caranya gampang ! Gunakan pikiran untuk mensiasatinya. Pasti selalu ada jalan keluar yang menguntungkan. Apalagi, masih terlalu banyak penganggur di negeri ini yang antri untuk mendapatkan pekerjaan,” ujarnya.
“Kemampuan berpikirku memang luar biasa. Aku memang memiliki otak yang brilian, jenius. Aku mampu menyulap dari sesuatu yang ‘tidak ada’ menjadi ‘ada’. Dari yang seharusnya rugi menjadi untung. Persetanlah kalau itu disebut korupsi, manipulasi, atau sisi-sisi lain yang dianggap sebagai bentuk dari ekspolitasi ambisi. Sebab semua itu tujuannya sudah relevan dengan tujuan berbisnis : mencari keuntungan sebanyak-banyaknya. Apalagi, ambisi, adalah ruh yang turut menentukan keberhasilan dalam berbisnis.”
“Di samping itu, guna melanggengkan usaha-usahaku, dengan sedikit berpikir dan uang, aku mampu menjadikan para penegak hukum sebagai anjing-anjing penjaga pintu-pintu perusahaanku. Sedangkan diantara para pejabatnya, mereka aku jadikan sebagai satpam yang memperkuat pengamanan bisnisku,” tambah Sasongko dengan pongahnya.
Bila lelaki itu begitu bangga dengan pikiran-pikirannya, di satu sisi sepertinya memang beralasan. Sebab berkat hasil pemikiran-pemikirannya juga, dalam beberapa tahun saja Sasongko sudah memiliki sejumlah perusahaan yang semuanya sudah cukup maju. Bahkan kabarnya, kini dia tengah mempersiapkan mendirikan dua perusahaan lagi.
Berkat prestasinya yang dianggap luar biasa dan jasa-jasanya dalam memberikan kontribusi yang besar guna mengurangi jumlah pengangguran, kabarnya Sasongko akan dianugerahi penghargaan dari presiden republik bagong ini.
“Itu semua berkat mengoptimalisasikan pikiranku ha ha ha...,” tandasnya dengan bangga. Sementara itu perut buncitnya terlihat menari-nari.
“Selamat ya, Bos ! Bos memang luar biasa. Bahkan presiden pun akan memberikan penghargaan atas keluarbiasaan Bos,” ujar salah satu bawahannya yang suka menjilat itu.
“Siapa dulu dong, aku..... Sasongko ! Ha ha ha...,” katanya sambil mengelus-elus dasi bermotif ular yang menggantung di lehernya.
“Saya salut sama Bos...,” lanjut bawahannya tadi.
“Sebenarnya, aku tidak peduli dengan banyaknya pengangguran di republik ini. Kalaupun jumlah penganggur katanya turut berkurang berkat berdirinya sejumlah perusahaanku, namun aku tidak pernah berniat mengurangi jumlah pengangguran. Aku hanya memanfaatkan tenaga mereka dengan mengeluarkan upah yang sebetulnya minimal. Padahal sebenarnya, aku bisa saja memberikan upah secara lebih layak kepada mereka. Sebab perusahaan-perusahaanku memperoleh untung yang sangat berlebih berkat menggunakan tenaga mereka.
Setelah dianugerahi penghargaan dari presiden, apalagi peristiwa tersebut diliput oleh berbagai media massa, nama Sasongko kian populer. Hal ini mengundang rasa kagum dari masyarakat termasuk sebagian pengusahanya. Namun bagi mereka yang mengetahui siapa sesungguhnya Sasongko Mangansato, justru mereka mencemoohnya.
“Masak, penipu macam si Sasongko mendapat penghargaan !”
“Seharusnya, penghargaan yang tepat untuk Sasongko adalah penghargaan atas prestasinya sebagai pembohong, penipu, dan penjilat ulung !”
“Kok, bisa-bisanya penghargaan itu jatuh ketangannya....”
Begitulah antara lain nada-nada ketidaksenangan dan cemoohan yang ditujukan pada Sasongko.
Prestasi dan kepopuleran Sasongko yang dianugerahi penghargaan dari presiden, semakin memperkuat kedudukan dirinya dan perusahaan-perusahaannya dalam pentas bisnis nasional. Sehingga Sasongko pun lebih leluasa dalam merealisasikan hasil dari pikiran-pikirannya untuk terus memajukan dan memperluas jaringan bisnisnya.
Beberapa hari kemudian, Sasongko diundang oleh salah satu televisi siaran sebagai tamu dalam acara “Bisnis dan Tokoh”.
“Pak Sasongko, bagaimana kiat Anda dalam menumbuhkembangkan suatu usaha hingga menjadi besar,” tanya si pembawa acara.
“Dalam bisnis, cuma ada satu orientasi tertinggi yang harus diutamakan, yaitu ke-un-tung-an-be-sar. Ingat itu ! Sedangkan caranya gampang saja. Pandai-pandailah menggunakan ini,” katanya sambil menunjuk-nunjuk jidatnya. Sasongko melanjutkan, “Jadi, tidak cukup dengan menerapkan prinsip ekonomi : mengeluarkan biaya sekecil-kecilnya untuk memperoleh untung sebanyak-banyaknya. Tetapi jika memungkinkan tidak perlu kita mengeluarkan biaya namun keuntungan tetap bisa diraih. Nah, yang kedua inilah sesungguhnya prinsip ekonomi yang paling canggih. Caranya, yaitu tadi, pandai-pandai menggunakan otak. Dasarnya adalah apapun dilakukan untuk memperoleh keuntungan itu. Gampang, kok !” jawabnya menggebu-gebu.
“Anda baru saja mengatakan, bahwa apapun dilakukan untuk memperoleh keuntungan. Apakah dalam berbisnis Anda tidak menerapkan etika dan norma-norma hukum ?”
“Oh, bukan itu maksudku ha ha ha.... Tentu saja kita harus menggunakan etika dan norma-norma hukum, dan dunia bisnis memiliki etika serta norma-norma hukum sendiri yang tentu saja harus berpihak pada keuntungan. Ingatlah itu ha ha ha....,” ucapnya bias.
“Sebagai manusia yang baik, bukankah kita harus beretika ? Dan sebagai warga yang baik, bukankah seharusnya kita pun mentaati norma-norma hukum ?” ujarnya berapologi.
“Sebelumnya Anda menyinggung pentingnya menggunakan otak. Dan nampaknya Anda begitu bangga dengan otak Anda,” kata si pembawa acara.
“Oh itu sudah pasti. Kalau saya tidak memiliki otak yang canggih, tentu saya tidak akan sehebat ini. Maksud saya, tidak akan seperti sekarang ini, ehmm...,” kata Sasongko sambil membetulkan dasinya. Lanjutnya, “Otak adalah penentu diri seseorang. Otak lah yang menyebabkan seseorang seperti udang atau keledai....”
“Termasuk yang menyebabkan seseorang seperti ular, kan ? Artinya dia menjadi jahat. Begitu, kan ?” potong pembawa acara itu.
“Ya, banyak orang bicara tentang pentingnya kebaikan, tetapi sesungguhnya hatinya jahat. Dia nampak tenang dan begitu meyakinkan dengan pernyataannya, namun dari mulutnya mengandung bisa,” jelas Sasongko sambil memutar ke kiri-ke kanan kursi yang tengah didudukinya.
“Anda seperti itu ?”
“Apakah saya termasuk orang yang senang mengumbar atas nama kebaikan ? Tentu tidak, kan ?” Sasongko berdalih.
“Menurut kabar, ada sejumlah pengusaha yang tidak senang dengan permainan bisnis Anda. Anda dianggap curang dan....”
“Ah tidak benar itu ! Saya rasa, sikap yang demikian biasanya terlontar dari mulut-mulut yang kalah dalam persaingan bisnis. Mereka itu iri dengan prestasi saya. Mereka iri dengan kemajuan bisnis saya. Anda, kan tahu, kalau saya dianugerahi penghargaan oleh presiden. Jika bukan karena prestasi dan kebaikan saya sebagai warga negara, tentu saya tidak akan dianugerahi penghargaan tersebut, bukan?”
“Perlu diingat, dalam berbisnis sesungguhnya tidak ada istilah curang, yang ada adalah istilah kalah atau memang, rugi atau untung, maju atau mundur, hidup atau matinya perusahaan, dan sejenisnya. Harus diingat pula, berbisnis itu seperti halnya berperang. Sama-sama harus memperhatikan strategi SWOT. Jelas kan ?” papar Sasongko.
“Jadi Anda tidak peduli dengan adanya kecurangan yang anda lakukan.”
“Oo bukan begitu ! Lagi pula, itu kan baru kabar burung yang tidak jelas asal-usulnya. Kalau Anda ingin jelas, silahkan tanya pada burung he he he....”
Kata sasongko lagi, “Saya yakin, kabar itu sengaja dihembuskan oleh mereka yang sengaja mau merusak citra saya dan tidak senang dengan kemajuan perusahaan-perusahaan saya. Ya, karena mereka iri dengan prestasi dan keberhasilan saya. Iri dengan penganugerahan yang diberikan presiden terhadap saya. Iri karena saya pun kemudian mendapat posisi penting dalam organisasi induk perusahaan nasional. Kalau pun tadi saya mengatakan bahwa dalam bisnis tidak ada istilah curang, karena bisnis berorientasi pada keuntungan. Sedangkan curang tidaknya seseorang dalam menjalankan bisnisnya tentu tinjauannya adalah etika dan norma-norma hukum tadi. Sedangkan tadi saya sudah katakan, bahwa sebagai manusia dan warga negara yang baik kita harus beretika dan mentaati norma-norma hukum. Anda paham kan ? Ha ha ha...” Demikianlah Sasongko bermain kata-kata.
“Jadi Anda merasa tidak berbuat curang dalam menjalankan bisnis Anda. Bahkan Anda menganggap diri Anda sebagai manusia dan warga negara yang baik, yang beretika, dan taat hukum ?” desak sang pembawa acara.
“Jika saya berbuat curang dalam berbisnis, jika saya mengabaikan etika dan norma-norma hukum, tentu saya tidak akan dianugerahi penghargaan dari presiden. Iya, kan ? Cobalah gunakan otak Anda itu,” kata Sasongko sambil menunjuk ke arah jidat si pembawa acara.
“Kalau bicara soal otak, saya jadi teringat mengenai penjual otak...,” terang lelaki pembawa acara.
“Maksud Anda penjual otak otak ?” kejar Sasongko.
“Bukan, tapi cerita mengenai penjual otak manusia.”
“Apa benar ada penjual otak manusia. Aneh-aneh saja Anda ini...,” lanjut Sasongko sambil mengkerutkan keningnya.
“Sebenarnya saya tidak peduli apakah cerita itu benar atau tidak. Sebab ini hanyalah sebuah cerita. Tapi yang membuat saya tertarik adalah adanya cerita ini. Cerita tentang penjual otak manusia. Tokoh dalam cerita itu menjual otak yang diambil dari manusia-manusia yang matinya dalam keadaan baik. Seperti mati ketika beribadat atau saat berbuat kebajikan. Kemudian otak-otak itu dijual, karena diyakini bahwa otak - otak tersebut akan sangat baik menggantikan otak manusia yang sudah terlanjur kotor. Jadi otak manusia yang sudah kotor, bejat, bisa dibedah dan digantikan oleh otak yang berasal dari kepala orang-orang baik yang sudah meninggal. Harganya sangat mahal. Saya yakin, anda mampu membelinya. Anda tertarik untuk mendengar lebih jauh inti dari cerita ini ? ”
“Karena saya menggunakan otak, tentu saja yang tidak tertarik. Seharusnya Anda pun menggunakan otak Anda karena Anda telah menghambur-menghamburkan waktu saya dengan cerita yang tidak ada gunanya itu,” jelas Sasongko.
“Justru saya merasa perlu menceritakannya setelah mulai mengenal Anda,” belanya.
“Ha ha ha, Anda benar-benar tidak menggunakan otak. Justru presiden menganugerahi penghargaan kepada saya karena kehebatan otak saya. Atasan Anda pun mengundang saya dalam acara ini, pada dasarnya juga berkat kehebatan otak saya. Jadi, pantaskah Anda mencoba merendahkan otak saya ? Mana bisa ha ha ha....”
“Anda memang hebat....,” kata pemandu acara tersebut.
“Ya, saya tahu itu. Dan saya pun mengetahui apa yang sesungguhnya ada dalam otak Anda mengenai diri saya, ha ha ha....” Lanjutnya, “Begini saja, pembicaraan ini sudah melenceng dari bahasan utama topik ini. Bagaimana kalau kita lanjutkan diskusi sesuai dengan jalur yang telah ditentukan semula. Saya tahu, republik bagong ini menghargai kebebasan warganya untuk berpendapat apa saja. Apalagi kini media-media televisi, termasuk televisi anda, sudah diberi kebebasan menampilkan perdebatan yang sekiranya dapat mendongkrak jumlah penonton sekalipun terkesan kurang atau bahkan tidak beretika. Tapi itulah bisnis, kan?”
Begitulah sepintas penampilan Sasongko Mangansato dalam acara yang berdurasi sekitar tigapuluh menit itu.
Asal tahu saja, awalnya perdebatan semacam itu dianggap tidak etis apalagi jika ditayangkan dalam acara televisi. Namum berkat kebebasan berpendapat, acara semacam itu menjadi biasa ditayangkan di semua televisi siaran yang ada di republik bagong ini. Oh ya, sekedar tambahan, negeri itu disebut negeri bagong karena budaya korupsi di sana sudah mengakar, dan para pimpinan bangsanya pun banyak yang rakus.
Kembali pada Sasongko, ia menyadari benar pentingnya menjaga otak. Agar otaknya senantiasa dalam keadaan optimal, secara rutin Sasongko mengkonsumsi berbagai makanan tambahan yang khusus berkhasiat meningkatkan dan mempertahankan kemampuan kerja dan daya tahan otak. Selain itu dia juga menyadari, bahwa pada saat-saat tertentu, otaknya pun harus diistrirahatkan dan dimanjakan agar kembali fresh.
Seperti pada hari Minggu itu, di taman halaman salah satu rumah mewah miliknya, Sasongko bersantai-santai duduk di sebuah kursi di pinggir kolam ikan hias. Sambil menikmati alunan musik Sebastian Bach yang terdengar dari dalam rumahnya, ia memperhatikan ikan-ikan yang ada di dalam kolam berair bening tersebut.
Tampaknya Sasongko menikmati benar dalam memandangi keindahan berbagai ikan hias yang ada di kolam itu. Ia kemudian turun dari kursinya dan berjongkok menyorongkan kepalanya ke atas permukaan air kolam sambil memperhatikan warna-warni dan gerak-gerik ikan-ikan yang ada di dalamnya. Sesaat, diamati juga bagian depan dan tengah kepalanya yang botak yang terlihat jelas memantul di permukaan air tersebut. Sesekali Sasongko mengelus-elus bagian kepalanya yang botak itu. Tiba-tiba, Sasongko terperanjat dan hampir terjungkal ke belakang, karena seekor ikan arwana yang paling besar, yang berada persis di bawah bayangan kepala Sasongko, menyemburkan air ke kepala lelaki itu.
“Prot !”
“Sialan !” hardik Sasongko.
“Maaf tuan, saya terpaksa menyemburkan air itu karena tiba-tiba saya merasakan sesuatu yang bau busuk. Bau busuk itu berasal dari kepala tuan,” jelas si ikan.
Sudah pasti Sasongko terheran-heran dengan peristiwa tersebut. Jika tidak mengalaminya, dia sendiri tidak akan mempercayai adanya ikan yang bisa bicara seperti manusia.
Lelaki setengah baya itu sempat merenung mengenai keanehan tadi. Namun ia tidak mau berlarut-larut memikirkan kejadian itu. Sasongko khawatir, apabila terlalu dipikirkan, dirinya akan malas untuk mengoptimalkan kembali pikirannya demi meraih keuntungan dan kemajuan usaha-usahanya.
“Tapi apakah benar yang dimaksud bau busuk dari kepalaku itu adalah otakku ?” tanyanya dalam hati ketika teringat ucapan si arwana.
Sejenak, Sasongko terlihat menciumi telapak tangan yang sebelumnya dielus-eluskan ke kepala botaknya.
Bogor, 09/10/01 - LA, 22/03/06
Tidak ada komentar:
Posting Komentar