Selasa, 29 Juli 2008

Ketidakpuasan Seorang Perempuan Pelacur

Sopian Muhammad


Setelah sang suami pergi entah kemana bersama seorang perempuan lain, Sumilah Darodosa harus menghidupi sendiri kedua anaknya yang masih kecil-kecil, dan seorang ibunya yang sudah mulai renta. Bahkan setiap bulannya dia pun harus membayar rumah kontrakan yang meskipun kecil dan sangat sederhana, namun terasa berat bagi Sumilah untuk membayar setiap bulannya.

Guna memenuhi segala kebutuhan itu, Sumilah menjadi pembantu di sebuah keluarga yang jarak rumahnya tidak terlalu jauh dengan kontrakan tempat tinggalnya. Sehingga ia masih bisa pulang pada malamnya untuk mengurus anak-anak dan ibunya. Tetapi ternyata, Sumilah hanya mampu bertahan sekitar satu bulan dari pekerjaannya itu. Sebab dia tidak tahan terhadap perlakuan si majikan laki-laki yang seringkali berbuat kurang ajar terhadapnya terutama ketika istri dan seorang anaknya tidak ada di rumah. Maklumlah, meskipun Sumilah sudah beranak dua, namun usianya masih relatif muda. Apalagi postur tubuh dan wajah Sumilah memang terlihat jauh lebih menarik dibandingkan dengan istri lelaki itu.

Suatu ketika, saat istri dan anaknya tidak ada di rumah, lelaki tadi kembali menggoda dan berbuat kurang ajar terhadap Sumilah. Bahkan kali ini ia berhasil memperkosa Sumilah. Sumilah sendiri tidak berani mengadukan masalah tersebut pada majikan perempuannya, istri lekaki itu, atau pada siapapun. Karena lelaki itu mengancam akan membunuhnya. Sumilah terpaksa memilih menerima sejumlah uang yang diberikan lelaki itu mengingat ia sangat membutuhkannya untuk berobat anak terkecilnya yang sedang sakit.

Setelah berhenti dari pekerjaannya sebagai pembantu rumah tangga, Sumilah kemudian mencoba menjadi tukang cuci pakaian. Didatangilah rumah demi rumah di sekitar tempat tinggalnya yang sekiranya mau menggunakan jasanya. Sumilah merasa bersyukur karena orderan mencuci - termasuk sekalian menyetrikakannya - setiap hari selalu ada. Apalagi, ia pun bisa menerima upah dengan segera setiap kali menyelesaikan pekerjaan itu walaupun nominalnya tidak seberapa.

Pada suatu hari, ketika Sumilah sedang menyetrika pakaian, seorang lelaki yang tinggal di rumah itu mengaku kehilangan uang yang jumlahnya cukup besar. Karena tidak seorang pun merasa mengambil atau menemukannya, maka Sumilah lah yang menjadi sasarannya. Ketika tas keranjang yang selalu dibawa Sumilah digeledah, ternyata sejumlah uang ditemukan di dalamnya, dan jumlahnya pun sama dengan uang yang dianggap hilang tadi. Sumilah merasa, dirinya sengaja dijebak oleh lelaki itu. Sebab menurut Sumilah, si lelaki kurus tersebut sepertinya masih menyimpan dendam. Pasalnya, pada hari sebelumnya, Sumilah berhasil menendang cukup keras kemaluan orang itu saat dirinya berusaha memperkosa Sumilah. Namun demikian, Sumilah tetap tidak bisa membela diri dari fitnah atau jebakan tersebut. Akibatnya saat itu pula Sumilah diusir tanpa dibayar sepeser pun atas pekerjaannya.

Desas desus bahwa Sumilah mencuri uang, akhirnya menyebar ke telinga para tetangga terutama yang menggunakan jasa-jasanya. Karena mereka termakan isu tadi maka mereka pun tidak mau lagi mempekerjakan Sumilah.

“Meskipun saya miskin, saya bukanlah pencuri...,” bela Sumilah dalam menghadapi tuduhan-tuduhan dari mereka.
Sumilah Darodosa kebingunan. Ia tidak tahu lagi pekerjaan apa yang bisa dilakukannya untuk menyambung hidup keluarga. Apalagi pemilik kontrakan yang tidak mau tahu dengan kesulitan yang dihadapinya, sudah berkali-kali menagihnya.

“Maaf Pak Badrig ? Saya masih belum punya uang. Jangankan untuk bayar kontrakan, untuk makan kami saja sangat susah. Maklumlah Pak, keadaan saya seperti ini. Jika Bapak tidak bisa memakluminya, dimana lagi kami harus tinggal ?” keluh Sumilah.

“Saya tidak mau tahu ! Saya kan sudah kasih tempo setengah bulan untuk segera membayar kontrakan ini. Pokoknya kamu harus segera bayar atau pergi meninggalkan tempat ini,” tegasnya dengan intonasi tinggi. “Kecuali...!” sambung lelaki itu sambil berbisik ke Sumilah.

Bagaikan suara petir, Sumilah sangat kaget mendengar bisikan lelaki setengah baya itu.

“Jangan Pak, jangan !” sergah Sumilah seketika dengan raut muka memucat.

“Ayolah, istri dan anak-anakku sedang tidak ada di rumah...,” paksa lelaki berkumis tebal berbadan kekar itu sambil menarik tangan Sumilah.

“Jangan Pak.... saya mohon jangan...,” ujar Sumilah kembali menahan tarikan tangan lelaki tadi.

“Kalau tidak mau, sekarang juga kamu harus meninggalkan kontrakan ini, bagaimana...,” ancamnya.

Sumilah terdiam dengan wajah menyimpan amarah. Sedangkan lelaki itu kembali menarik kuat tangan Sumilah. Merasa tidak bisa berbuat apa-apa lagi, Sumilah pun menuruti ajakan lelaki tersebut. Setelah berada di dalam rumah lelaki tadi, kemudian Sumilah digiring ke kamarnya dan disana dilampiaskanlah nafsu binatang si lelaki pada tubuh perempuan yang batinnya tercabik-cabik itu.

“Kalau begini, kan kamu tidak perlu lagi melunasi kontrakan bulan ini !” ujarnya.

Hari terus berganti. Di tengah penderitaan lahir dan batinnya, Sumilah Darodosa tetap masih kebingungan untuk melanjutkan kelangsungan hidup keluarganya. Apalagi, habis bulan tinggal beberapa hari lagi dan ia harus segera mempersiapkan sejumlah uang untuk membayar kontrakan. Jika tidak, maka sebagai penggantinya Sumilah harus kembali bersedia melayani nafsu lelaki pemilik kontrakan tadi.

Di saat dirinya merasakan gejolak kebingungan yang begitu hebat, tiba-tiba Sumilah didatangi seorang lelaki yang memberinya saran untuk melacurkan diri. Berkat bujuk rayunya - apalagi ia sendiri merasa tidak ada jalan lain - Sumilah akhirnya terpaksa memilih untuk melacurkan diri. Apalagi, ia merasa, dirinya pun sudah terlanjur ternoda.

Tidak lama kemudian, kabar bahwa Sumilah menjadi pelacur tersebar di lingkungan sekitar tempat tinggalnya. Akibatnya Sumilah pun dihujani berbagai cemoohan. Termasuk cemoohan dari bekas majikan atau pemilik kontrakan yang pernah memperkosanya serta orang-orang yang memfitnah dirinya sebagai pencuri.

“Dasar perempuan kotor !”
“Perempuan najis !”
“Perempuan hina !”
“Perempuan tidak bermoral !”

Begitulah antara lain cemoohan yang menghujam ke dalam batin Sumilah. Cemoohan yang menyayat hati dan meninggalkan goresan luka yang sulit disembuhkan. Namun demikian, Sumilah berusaha sabar menghadapinya demi kelangsungan hidup dirinya, anak-anaknya, serta sang ibu yang dikasihinya.

“Kalaupun demi nafkah keluarga, pelacur tetap saja pelacur ! Yaitu perempuan yang tidak lagi memiliki harga diri.”

Demikian diantaranya nada cemoohan lain yang ditujukan pada Sumilah.

***
Sumilah merasakan, bahwa sebutan “pelacur” seakan sudah merupakan predikat yang jauh lebih buruk dibandingkan dengan sebutan (lain) bagi perilaku tidak bermoral lainnya.

Perasaan Sumilah seperti itu bisa dipahami. Apalagi istilah “pelacur” sesungguhnya bisa diidentifikasikan bagi perilaku tidak bermoral lainnya tanpa melihatnya dari jenis “kelamin” (perempuan) dan jenis “pekerjaannya” (menjual tubuh). Termasuk juga dapat ditujukan kepada para pemerkosa ataupun orang yang memfitnah dirinya tadi. Sebab, makna pelacur tidak hanya terbatas pada tinjauan biologis, tetapi juga sudah mencakup pada tataran makna filosofis yang lebih luas.* Dengan demikian, korupsi, kolusi, manipulasi, serta melakukan “sisi-sisi” lain yang mengeksploitasi nafsu atau ambisi, juga merupakan sisi lain dari pelacuran. Jadi, para pelakunya pun pantas disebut “pelacur”. Terkait dengan itu, Sumilah merasakan ketidakadilan dama masalah ini.

“Bukankah dengan demikian sebutan ‘pelacur’ juga pantas ditujukan pada mereka yang mencemoohku ? Sebab yang kutahu, diantara mereka yang mencemooh kepelacuranku adalah pemerkosa, tukang fitnah, penipu, rentenir, serta pelaku perbuatan tercela lainnya,” tegas Sumilah.

Tanpa bermaksud membela Sumilah, dalam hal tertentu sepertinya perempuan yang menjual tubuhnya masih lebih baik dengan pemerkosa, tukang fitnah, penipu, rentenir, termasuk pelaku korupsi, kolusi, manipulasi, dan sisi lain yang mengeksploitasi nafsu ambisi tadi. Sebab “pelacur” yang menjual tubuhnya seperti Sumilah, yang “dikorbankan” adalah dirinya. Sedangkan pemerkosa, tukang fitnah, penipu, rentenir, koruptor, kolutor, manipulator, dan perbuatan kotor lainnya, yang “dikorbankan” adalah orang lain. Orang banyak. Bahkan rakyat dan negara.

Selain itu, pemerkosa, tukang fitnah, penipu, rentenir, koruptor, kolutor, manipulator, dan perbuatan kotor lainnya adalah segala perbuatan yang cenderung didasari nafsu. Pemerkosa didasari nafsu birahi. Penipu didasari nafsu amarah, rentenir, koruptor, kolutor, manipulator, cenderung dilandasi nafsu keserakahan. Sedangkan melacurkan diri seperti yang dilakukan Sumilah, murni dikarenakan “keterpaksaan”. Konon, banyak perempuan yang melacurkan diri (menjual tubuhnya) juga karena terpaksa. Yang jelas, orang semacam Sumilah, harus mendapat “perhatian”. Dia tidak pantas diperlakukan secara tidak adil. Termasuk ketidakadilan stigma dalam memahami makna sesungguhnya dari “pelacur”. Ketidakadilan dari pandangan masyarakat umum dalam memandang ‘perempuan pelacur’. Karena itulah ia tidak saja merasa marah terhadap orang-orang di sekitar yang mencemooh dirinya, tetapi juga marah karena ketidakadilan dalam pandangan masyarakat. Namun marah yang hanya bisa dipendam dan diungkapkan lewat kata-kata. Meski kata-kata itu, dia sendiri yang mendengarkannya.

Apakah karena dia seorang perempuan yang sudah terlanjur dianggap hina ?

***

Berkenaan dengan ketidakadilan yang dirasakan dan dialaminya, Sumilah pun seakan ingin menyatakan ketidakpuasannya terhadap para penegak hukum yang dinilainya diskriminatif. Sebab perempuan seperti dirinya (pelacur) seringkali “ditertibkan”. Sedangkan para “pelacur” lain uatamanya seperti koruptor, kolutor, manipulator, justru sulit tersentuh. Baik yang terjadi di lingkungan warga sekitar tempat tinggalnya, apalagi yang berada di kursi pemerintahan.

Dalam merespon keluh kesah dan ketidakpuasannya itu, Sumilah seperti ingin mempertanyakan ;

“Dimanakah keadilan itu ?”

“Mungkinkah kondisi ini terjadi karena para penegak hukumnya pun sudah banyak yang menjadi ‘pelacur’ ?”

“Bisakah pelacur menertibkan pelacur ?”

Ada hal menarik lainnya yang bisa dijabarkan dari keluh kesah dan ketidakpuasan seorang perempuan yang bernama Sumilah Darodosa itu. Dia memang tidak pandai berkata-kata. Namun ia ingin sekali mengungkapkan bahwa, apabila para perempuan seperti dirinya harus ‘ditertibkan’, maka semua perilaku tidak bermoral lainnya juga harus ditertibkan. Bahkan, justru para ‘pelacur’ yang berada dibalik kursi pemerintahan atau kekuasaanlah yang terlebih dahulu harus ‘ditertibkan’. Dengan kalimat lain, Sumilah seolah ingin menegaskan ; ibarat membersihkan rumah, maka bagian ataslah yang seharusnya dibersihkan lebih dahulu.

Dari ungkapan itu, muncullah suatu asumsi bahwa, justru akibat dari kepelacuran para pejabat dan penegak hukumlah sehingga negara ini mengalami krisis ekonomi dan kepercayaan. Sedangkan krisis ini, telah melahirkan banyak warga untuk melacurkan diri dengan berbagai bentuk atau jenisnya. Padahal, perilaku para penegak hukum maupun pejabat yang “melacurkan” diri - menjual hukum ataupun kewenangannya - seolah merupakan suatu rangkaian kata-kata yang menggelorakan semangat untuk melacurkan diri secara massal di tengah kondisi sosial ekonomi budaya yang kian tidak menentu ini.

Sumilah nampaknya hendak mengungkapkan bahwa, tanpa merasa berdosa, mereka justru berbicara seperti orang-orang suci ; bicara tentang kebenaran : kejujuran dan keadilan. Bahkan, mereka seperti tidak memiliki rasa malu dengan menyebut perempuan yang menjual tubuhnya sebagai sampah kotor yang hina dina, sampah masyarakat yang harus dibersihkan. Padahal, mereka lah yang lebih kotor sehingga mereka pun layak disebut sampah masyakat bahkan sampah negara yang harus segera dienyahkan.

“Janganlah berbicara kepada kami tentang kebenaran : kejujuran dan keadilan. Sebab bagi kami : kejujuran mereka (terutama pejabat dan penegak hukum tadi - pen) adalah kebohongan, dan keadilan mereka adalah kelicikan.” Kira-kira seperti itulah yang ingin diungkapkan Sumilah.

Apabila Sumilah begitu antipati tentang kebenaran : kejujuran dan keadilan yang keluar dari mulut-mulut para pejabat dan penegak hukum semacam itu, apakah karena dirinya merasa lebih jujur dan lebih adil ?

Sumilah, tidak berani mengatakan bahwa dalam permasalahan ini dirinya lebih jujur dan adil. Namun Sumilah, bisa memperlihatkan kejujuran dan keadilan dalam dirinya.

Kejujuran Sumilah, atau mungkin perempuan lainnya yang disebut ‘pelacur’, karena dia/mereka menyadari dan mengakui kepelacurannya, serta sadar akan kehinadinaan dirinya. Keadilan dia/mereka sebagai pelacur, karena dia/mereka rela menerima cercaan dan cemoohan dari masyarakat meskipun cemoohan itu cenderung diskriminatif.

Bagaimana dengan mereka, para ‘pelacur’ yang menjual kejujuran dan keadilan (pejabat dan penegak hukum – pen) ? Rasanya tidak akan sejujur atau seadil para perempuan ‘pelacur’ dalam menilai dirinya dihadapan masyarakat.

Begitu juga dengan pemerkosa, tukang fitnah, penipu, renten, koruptor, kolutor, manipulator, juga tidak akan jujur dan adil seperti dirinya. Bagaimana mereka bisa jujur dan adil dengan apa yang dilakukannya ? Apalagi untuk mengakui dan menyadari bahwa mereka pun adalah ‘pelacur’.

Sumilah ingin menambahkan, bahwa kalaupun para perempuan yang disebut pelacur ini seringkali terlihat tertawa-tawa, sesungguhnya tidak jarang hati mereka merasakan kepiluan, kesedihan dengan hidup yang dialaminya. Sedangkan tertawa-tawanya para pemerkosa, tukang fitnah, penipu, renten, koruptor, kolutor, manipulator, termasuk para pejabat dan penegak hukum kotornya, bisa dipastikan karena didasari rasa senang, rasa puas.

***

Sumilah, harus puas dengan ketidakpuasannya yang sebatas nada protes dan gugatan.
“Siapa sih yang mau mendengarkan apalagi membela orang yang sudah terlanjur dianggap kotor, najis, dan hina dina seperti aku ?” Mungkin seperti itulah yang ingin diungkapkannya

“Sepertinya, hanya Tuhan lah yang benar-benar memahami perasaanku,” ujar Sumilah dengan nada lemah.

Suatu ketika Sumilah memanjatkan do’a yang bernada kegelisahan, kekecewaan, sekaligus pemujian yang bercampurbaur dengan nada-nada protes terhadap Tuhan.

“Ya Tuhan, Engkau mengetahui betapa terpaksanya aku menjalani hidup sebagai pelacur. Betapa tersiksanya batinku karena itu ?” rintih Sumilah.

“Ya Tuhan, aku memang wanita tuna susila. Tapi aku bukanlah wanita tuna netra yang tega melihat kemelaratan dan kelaparan hidup ibuku dan anak-anakku....”

“Berikanlah aku kekuatan untuk segera mengakhiri kepelacuranku....”

Begitulah antara lain penggalan dari do’a panjang si perempuan pelacur Sumilah Darodosa.

Tidak ada komentar: