Selasa, 29 Juli 2008

Maafkan Kakak, Dik!?

Sopian Muhammad


Dengan mimik yang menunjukkan rasa khawatir, seorang wanita langsung mencegat seorang dokter yang baru saja keluar dari pintu ruang unit gawat darurat (UGD).

“Bagaimana keadaan anak kami, Dok?” sapanya.

“Putri Ibu dalam keadaan kritis mengingat luka yang cukup parah akibat benturan di kepalanya,” jelas dokter itu.

“Tapi, anak kami masih bisa diselamatkan, kan?” kata lelaki yang berada di samping wanita tadi.

“Kita berdo’a semoga anak Bapak dan Ibu bisa tertolong. Untuk sementara ini biarkan kami merawat…siapa namanya….”

“Namanya Hasanah, Dok,” kejar si ibu.

“Ya, kami akan berusaha sekuat tenaga menolong Hasanah,” jawab dokter.

“Apa kami bisa melihatnya sekarang?” pinta si ayah.

“Sebaiknya jangan dulu. Biarkanlah dokter dan para suster di dalam menolongnya,” kata dokter sambil menunjuk ke ruang UGD di belakangnya.

“Permisi saya masih ada tugas lain,” sambung dokter itu yang kemudian meninggalkan kedua orang tua yang masih terlihat cemas dengan keadaan anak mereka.

“Ya Allah...selamatkanlah anak kami,” do’a si ibu dengan suara lirih.

Hampir setengah jam kemudian, seorang dokter lain keluar dari ruangan UGD tempat Hasanah dirawat.

“Bagaimana keadaannya, Dokter?” tanya si ibu lagi dengan rasa penasaran.

“Bapak dan Ibu orang tuanya?” tanya dokter tersebut.

“Ya, kami orang tuanya,” jawab lelaki itu.

“Keadaan putri Bapak dan Ibu masih dalam keadaan kritis. Kami berusaha semaksimal mungkin menolongnya. Karena sekarang sudah larut malam, sebaiknya Bapak dan Ibu beristirahat saja dahulu. Besok pagi baru kesini lagi. Kalau ada apa-apa, kami akan segera memberitahukannya,” saran dokter.

“Tapi, Dok...,” kata si ibu.

“Sudahlah, Mam. Kita ikuti saja saran dokter. Kita pulang saja dulu. Lagi pula rumah kita kan nggak jauh dari sini?” jelas suaminya.

“Ya, sebaiknya begitu. Ibu dan Bapak sebaiknya pulang saja dahulu. Sebab masa kritis putri Bapak dan Ibu sepertinya akan cukup lama,” lanjut sang dokter.

Dengan langkah gontai, kedua orang tua itu akhirnya meninggalkan rumahsakit.

Sekitar limabelas menit kemudian. Mereka sudah sampai di depan suatu rumah yang cukup mewah. Bunyi klakson beberapa kali dibunyikan. Terlihat seorang lelaki pembantu di rumah itu, keluar dari pintu rumah. Kemudian dengan sigapnya ia segera membuka pintu gerbang. Lalu sedan yang dinaiki kedua orang tua tadi masuk dan langsung menuju garasi.

“Mana Defa, apa dia belum pulang lagi?” tanya lelaki itu kepada seorang pembantu tadi.

“Sejak tadi, Neng Defa mengurung diri di kamarnya, Pak,” jawab si pembantu.
Tanpa membuang waktu ia pun menuju kamar Defa.

“Tok, tok, tok.”

“Defa, Defa...,” sahut si lelaki.

“Mungkin Defa sudah tidur, Pa? Biarkan saja,” tegur istrinya yang membuntuti dari belakang.

Di dalam kamarnya, ternyata Defa belum tidur. Ia terlihat gelisah seperti memikirkan sesuatu.

“Apa aku harus cerita sama mereka, bahwa akulah yang telah mendorong Hasanah hingga ia terjatuh dan tak sadarkan diri...? Tidak! Tidak! Mereka pasti memarahiku,” kata Defa dalam hatinya.
:::

Selama ini Defa merasa bahwa orang tuanya selalu mengistimewakan Hasanah. Meskipun usia Hasanah lebih muda dibanding Defa, namun orang tua mereka menganggap, dalam segala hal Hasanah patut dicontoh oleh Defa.

Hasanah memang anak yang berbakti terhadap kedua orang tua. Hasanah juga taat dalam melaksanakan shalat dan ibadah lainnya. Selain itu Hasanah pun pintar dan selalu mendapat juara kelas.

Defa boleh dibilang kebalikannya. Ia suka membantah dan sering bolos sekolah. Pokoknya, sikap dan perilakunya cenderung bertolak belakang dengan sikap dan perilaku Hasanah.

Sikap dan perilaku Defa yang semakin berubah ini terjadi semenjak Defa masuk SMU. Kedua orang tuanya menganggap hal ini terjadi karena pengaruh pergaulan teman-teman di sekolahnya. Sedangkan Hasanah yang memilih melanjutkan ke Madrasah Aliyah Negeri, justru semakin menunjukan kedewasaannya.
:::

Suatu hari, kedua orang tuanya protes dengan cara berpakaian Defa.
“Defa, mau kemana kamu dengan berpakaian rok mini dan berbaju ketat seperti itu ?” protes mamanya.

“Defa mau menghadiri ulang tahun temen Mam?” jawab Defa.

“Apa kamu nggak malu berpakaian seperti itu?”

“Nggak, Mam. Inikah pakaian yang sedang trend sekarang?”

“Defa, Defa. Malu lah kamu sama adikmu. Kalau kamu masih belum bisa memakai jilbab seperti adikmu Hasanah, nggak apa-apa. Tapi jangan berpakaian yang terlalu...ah. Sekarang, ganti pakaianmu! Kalau tidak! Papa nggak bakalan ngijinin kamu keluar,” ancam papanya.

“Tapi, Pa?”
“Benar kata papamu. Mama pun tidak mau melihat anak mama berpakaian seperti itu,” lanjut ibunya.
:::

Pada hari yang lain orang tua Defa pernah mendapat telepon teguran dari pihak SMU-nya. Pasalnya selain Defa sering tidak masuk sekolah, ia juga suka membuat ke ributan di kelas serta melanggar peraturan lainnya.

“Tadi mama mendapat telepon dari wali kelasmu di sekolah. Katanya dalam seminggun ini kamu sering tidak masuk kelas dan melanggar disiplin dan tata tertib sekolah. Mama tidak menyangka, kelakuan kamu rusak begitu. Memangnya mau jadi apa kamu !” ujar papanya setengah membentak.

“Papa heran, Mam ? Kok, sekarang anak kita yang satu ini lain sekali dengan sikap adiknya, Hasanah. Hasanah tidak hanya baik di sekolah tapi juga selalu menjadi juara kelas. Tapi, kamu Defa...,” keluh lelaki itu.

***

Dalam hal ibadah, Hasanah pun sering disebut-sebut oleh orang tuanya.
“Kamu, kan sudah dewasa, Defa. Kalau waktunya shalat, shalatlah. Nggak usah disuruh-suruh terus. Lihat dong adikmu Hasanah. Dia selalu menjalankan shalat pada waktunya. Bahkan shalat sunah pun sering dikerjakannya. Apa kamu nggak malu sama adikmu itu,” kata mamanya.

“Sudahlah Mam! Hasanah lagi, Hasanah lagi. Bosan Defa mendengarnya. Bosan, Mam!” sahut Defa dengan kesal.

***
Sementara itu, perasaan Hasanah menjadi tidak enak karena dirinya selalu dijadikan perbandingan oleh kedua orang tuanya ketika mereka memarahi Defa. Akibatnya dia pun sering salah tingkah karena merasa bersalah ketika Defa menunjukan perasaan tidak suka terhadap dirinya. Hasanah merasa tidak tahu, apa yang harus dilakukannya agar Defa tidak membencinya. Ia menyadari, dirinya hanyalah anak angkat yang tidak pantas dilebih-lebihkan dengan Defa, anak kandung mereka.

“Mam ? Pa ? Hasanah mohon, agar nama Hasanah jangan disebut-sebut ketika Mama dan Papa menasehati Kak Defa. Hasanah tidak mau Mama dan Papa melebih-lebihkan Hasanah di depan Kak Defa. Itu nggak baik, Mam, Pa,” kata Hasanah suatu ketika.

Ternyata saran Hasanah seolah menyadarkan mereka bahwa terlalu membanding-bandingkan Hasanah dengan Defa tidaklah bijaksana meskipun tujuannya baik. Mengingat status Hasanah - sebagaimana diketahui Defa - adalah anak angkat di keluarga itu. Sedangkan Defa adalah anak kandung sendiri.

“Ya, papa menyadari, hal ini dapat menimbulkan dampak psikologis yang kurang baik bagi Defa,” jelas papanya.

“Mama sih, berharap, tujuan membandingkan Defa dengan Hasanah, agar Defa bisa lebih dewasa dalam berpikir, Pa ?”

“Papa paham, Ma ? Papa pun tadinya berharap demikian. Tapi setelah dipikir-pikir, ternyata ucapan Hasanah ada benarnya, Mam.”

***

Suatu sore, ketika Hasanah menuju ke kamarnya, secara tidak sengaja ia menemukan sebatang rokok yang tergeletak di luar pintu kamar Defa. Hasanah menyadari jika orang tuanya mengetahui hal itu, pasti Defa lah yang menjadi tersangkanya. Sebab selain rokok tersebut ditemukan di depan pintu kamar Defa, di rumah itu memang tidak ada orang lain yang senang merokok termasuk ayahnya.

Hasanah cepat-cepat memungut rokok itu dan bermaksud membuangnya. Namun kebetulan sekali, ibunya memergoki dan menanyakannya. Dengan kepolosannya, Hasanah pun terpaksa memberitahukan bahwa ia menemukan rokok tersebut di tempat itu.

Setelah ibunya menggeledah kamar Defa, ternyata di laci meja belajarnya terdapat sebungkus rokok yang mereknya sama dengan sebatang rokok yang ditemukan tadi, Sampoerna Mild Menthol.

Defa yang baru saja dari kamar mandi dan masuk ke kamarnya tidak bisa menyangkal setelah ibunya memperlihatkan sebungkus rokok itu. Ia pun langsung dimarahi dan dihukum dengan mengurangi uang jajannya selama sebulan. Dan tanpa disadarinya, orang tua itu pun kembali membanding-bandingkan Defa dengan Hasanah. Hasanah yang terlanjur berada di tempat itu langsung bergegas ke kamarnya dengan perasaan bersalah.
Semenjak itu kebencian Defa terhadap Hasanah semakin memuncak. Sebab Defa menganggap Hasanah lah yang sengaja mengadukannya. Menurutnya pula, Hasanah pulalah yang selama ini telah membuat dirinya kian tersudutkan.

Malamnya Defa tidak bisa tidur. Ia teringat kejadian tadi sore dan hari-hari sebelumnya ketika kedua orang tuanya memarahi dirinya.

“Lagi-lagi si Hasanah ! Awas, ya ! Akan aku beri pelajaran kamu!” tekadnya.
Suara langkah kaki di tangga yang kebetulan paling dekat dengan kamar Defa terdengar olehnya. Ia lalu membuka pintunya. Terlihat Hasanah sedang menuruni tangga menuju lantai bawah sambil membawa teko plastik kosong. Defa yang sudah diliputi rasa dendam merasa, bahwa itulah saatnya untuk memberi pelajaran pada Hasanah. Defa pun bergegas turun lalu....

“Heh, kalau jalan di tangga buruan. Aku mau lewat !” kata Defa sambil mendorong Hasanah. Hasanah pun terjatuh dan kepalanya membentur ujung pinggir tangga hingga berdarah dan tak sadarkan diri. Defa panik karena ia tidak menyangka kalau dorongannya mengakibatkan Hasanah separah itu. Sedangkan kedua orang tuanya tidak tahu bahwa dirinyalah yang menjadi penyebabnya.

***
Begitulah awal mula kejadian yang menyebabkan Hasanah berada di rumah sakit sehingga kini di kamarnya Defa merasa gelisah, cemas memikirkan keadaan Hasanah yang berada di rumah sakit. Diantara rasa cemasnya, ia teringat dengan sikap baik Hasanah selama ini terhadap dirinya. Mulai dari seringnya Hasanah memberikan Silverqueen kegemarannya, mencuci dan menyetrikakan pakaiannya ketika pembantu pulang kampung, serta sikap mengalahnya jika dirinya menghendaki sesuatu dari Hasanah. Bahkan Hasanah lah orang yang selalu lebih dahulu mengucapkan selamat ulang tahun pada dirinya di rumah itu dan tidak pernah lupa memberinya kado yang disisihkan dari uang jajannya. Sedangkan, Defa, merasa bahwa dirinya belum bisa menunjukan rasa sayang dan perhatiaanya seperti yang ditunjukan Hasanah sebagai adik, walaupun ia adik angkatnya. Cemas dan sesal, itulah perasaan yang sedang berkecamuk dalam diri Defa.

Besok paginya Defa dan kedua orang tuanya pergi ke rumah sakit. Sepanjang perjalanan, perasaan Defa selalu diliputi penyesalan, rasa bersalah sekaligus cemas dengan keadaan Hasanah. Apalagi setelah mendengar ucapan kedua orang tuanya, Hasanah semalam dalam keadaan sangat kritis dan tak sadarkan diri di ruang UGD. Ada gumpalan perasaan takut dalam diri Defa, kalau-kalau Hasanah tidak tertolong atau meninggal dunia.
Setelah mereka sampai di rumah sakit, ketiga orang itu langsung bergegas menuju ruang UGD tempat semalam Hasanah di rawat.

“Lho, Pak, kok ruangan ini kosong,” tanya orang tual laki-laki itu kepada seseorang yang sedang mengepel ruangan tersebut.

“Iya, Pak ! Tadinya sih, memang ada perempuan yang dirawat disini. Tapi barusan sudah dipindahin,” jelas petugas kebersihan itu.

“Dipindahin kemana, Pak ?” susul istrinya.
“Ya, dipindahin ke ruang mayat. Soalnya dia meninggal dunia,” terangnya.
Betapa terkejutnya kedua orang tua itu. Begitu pula dengan Defa. Tiba-tiba nampak raut kesedihan terlihat di wajah mereka. Sedangkan mamanya langsung menangis dan hampir saja terjatuh jika saja suaminya tidak segera menahan tubuhnya dan membawanya ke ke bangku di ruang tunggu di dekatnya. Air mata Defa pun turut menetes dari kedua bola matanya. Dia kian merasa bersedih sekaligus menyesali perbuatannya. Ia mengutuk dirinya.

“Ini gara-gara aku. Gara-gara aku ! Aku biadaab!” Defa merintih. Ia kemudian berlari meninggalkan kedua orang tuanya.

“Defa, mau kemana?” tegur papanya. Namun Defa tidak mempedulikannya. Ia tetap berlari.

“Ibu dan Bapak orang tuanya Hasanah, kan ?” Tiba-tiba dokter yang kemarin merawat Hasanah menghampiri kedua orang uta itu.

“Betul, Dok,” jawab orang tua lelaki.

“Karena kondisi anak Ibu dan Bapak sudah mulai membaik, malam itu juga kami memindahkannya ke ruang lain. Mungkin dalam sehari lagi dia bisa pulang.”

“Allhamdulillah, terus yang meninggal di ruangan ini siapa, Dok?” tanya sanga ayah dengan rasa penasaran sambil menunjuk ruang UGD.

“Dia korban tabrak lari subuh tadi, yang tidak tertolong lagi nyawanya,” jelas Dokter.

Perasaan pasangan suami istri itupun lega. Lega bukan karena kematian orang yang jadi korban tabrak lari tadi. Melainkan lega karena Hasanah masih hidup dan kondisinya sudah membaik.

Setelah dokter itu memberitahu ruang perawatan Hasanah, dengan rasa bahagia pasangan suami-istri itu bergegas menuju ruangan tempat Hasanah berada.

“Hasanah yang nggak berhati-hati ketika menuruni tangga itu,” jawab Hasanah ketika orang tuanya menanyakan kenapa hingga dirinya bisa terjatuh.

“Ngomong-ngomong, dimana kak Defa,” tanya Hasanah.

Sementara itu, di salah satu sudut rumahsakit, Defa nampak tidak mampu lagi menahan isak tangisnya.

“Maafkan kakak, Dik,” katanya lirih sambil memukul-mukul dinding tembok rumah sakit. Semenjak itu Defa bertekad untuk menjadi anak baik. Anak yang patuh terhadap kedua orang tua dan sayang terhadap adiknya.

Tidak ada komentar: