Selasa, 29 Juli 2008

Bertekuk Lutut Pada Sang Nafsu

Sopian Muhammad



Jika manusia bertekuk lutut pada sang nafsu, maka yang kemudian terjadi adalah manusia yang diperbudak hawa nafsunya. Manusia yang diperbudak hawa nafsunya berarti ia senantiasa mengikuti suatu hasrat, keinginan, ambisi yang tidak akan bertepi. Padahal manusia seperti itu Allah umpamakan seperti anjing.

“Dia yang memperturutkan hawa nafsunya seumpama seekor anjing. Engkau beri beban anjing itu, ia akan menjulurkan lidahnya. Atau tidak kau bebani dia, anjing itupun tetap menjulurkan lidahnya.” (Al A’raf : 176)

Manusia yang memperturutkan hawa nafsunya terimplementasi dari sikap dan perbuatannya. Mereka adalah orang-orang yang menjadikan harta benda sebagai sumber kebahagiaan, tahta (kedudukan-jabatan) sebagai simbol dari kehormatan dan kemuliaan, dan nafsu birahi sebagai puncak dari kesenangan/kenikmatan.

Seandainya harta benda sudah berada dalam genggaman, baginya harta bukanlah titipan. Sebab menurutnya harta merupakan sarana dalam memenuhi segala keinginan. Sedangkan memamerkannya berarti menambah lezatnya menikmati kekayaan. Tidak peduli dengan sesamanya yang menderita kefakiran.

Apabila tahta ( kedudukan-jabatan) berada dalam pangkuan, tahta bukan lagi dianggap sebagai beban (amanah). Baginya tahta merupakan sarana dalam memperlancar berbagai urusan. Tidak peduli dengan korupsi, kolusi, manipulasi, serta berbagai “sisi” lain yang mengeksploitasi nafsu ambisi.

Jikalau birahi adalah saluran dalam mencapai kesenangan/kenikmatan, maka berzina adalah kewajaran. Tidak peduli siapapun yang menjadi sasarannya.

Duhai manusia yang bergelimangan harta, yang hidupnya demi harta, seandainya harta benda begitu berharga, bukankah kekayaan hati jauh lebih utama ?

Ingatlah sabda suci Nabi dalam salah satu haditsnya :
“Bukanlah kekayaan itu karena banyak harta benda, tetapi kekayaan yang sebenarnya adalah kekayaan hati.”

Duhai manusia yang bertahta dan hidupnya demi tahta, jika kedudukan atau jabatan begitu penting dalam menggapai kehormatan atau kemuliaan, bukankah kehormatan di atas kehormatan adalah ketawadluan (rendah hati) dan kemuliaan di atas kemuliaan adalah ketaqwaan ?

Rasulullah bersabda :
“Kemuliaan itu adalah taqwa dan kehormatan itu adalah tawadlu.”

“Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling taqwa.” (Al Hujurat : 13)

Duhai manusia yang senantiasa tergoda pada sang birahi, apabila dalam kehidupan ini berzina merupakan suatu puncak dari segala kesenangan/kenikmatan, bukankah kesenangan/kenikmatan di dunia ini hanya memperdayai ?

“Kehidupan dunia itu hanyalah kesenangan yang memperdayai.” ( Al hadid : 20)
“Kehidupan ini hanyalah tipu daya dan permainan.” (Al An’am : 32)

Sang hawa nafsu (duniawi) memang senantiasa berusaha membuat manusia terlena oleh berbagai pesona, keindahan, dan kesenangan dunia. Dunia yang fana inipun seakan dianggapnya tempat terakhir dari perjalanan kehidupan. Padahal alam dunia ini hanyalah persinggahan.

Dalam salah satu haditsnya junjungan kita bersabda :
“Anggaplah hidupmu di dunia ini seperti orang asing atau pengembara yang hanya singgah dalam perjalanan.”

“Kalian telah terlena oleh melimpahnya kesenangan, sehingga tibalah saatnya kalian tiba di tepi jurang. Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu).” (Attakasur : 1-3)

“Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya memnetapi kesabaran.” (AL Ashr : 2-3)

Dalam memperdayai manusia, hawa nafsu selalu berusaha mendorong manusia untuk meninggalkan berbagai perintah Tuhan dan menjalankan segala larangan-Nya. Sebab perintah-perintah Tuhan dianggap memberatkan, sedangkan larangan-larangan-Nya adalah belenggu atau kungkungan.

Mengingat begitu gencar dan dahsyatnya tipu daya serta dorongan hawa nafsu untuk memperdayai manusia, maka perangilah sang hawa nafsu yang bersemayam dalam diri kita. Sebab ia adalah musuh terbesar. Jauh lebih besar dibandingkan perang Badar, perang terbesar yang pernah dipimpin langsung oleh Rasulullah dalam menghadapi kaum kafirin. Maka mengingat pentingnya memerangi hawa nafsu ini, Rasulullah pun bersabda, “Jihadun nafsi.”

Hawa nafsu yang tidak bisa dikendalikan - terkalahkan, pada hakikatnya adalah iblis yang berhasil merasuk dan menguasai diri manusia. Di dalam tubuh manusia, dengan kehalusannya sang iblis bertengger dalam hati, bahkan mampu menelusuri aliran-aliran darah sehingga manusia berbuat sekehendak nafsunya. Hawa nafsu, laksana percikan api yang apabila tidak mampu diredam, akan berkobar, bahkan membakar dan meluluhlantakkan keimanan.

Perangi dan taklukkanlah sang hawa nafsu. Jika tidak, kitalah yang akan ditaklukkan dan bertekuk lutut di hadapannya.

Manusia yang paling lemah sesungguhnya manusia yang selalu dikendalikan - dikalahkan hawa nafsunya. Sedangkan apabila ada manusia yang perkasa, tiada lain adalah orang yang mampu mengendalikan-mengalahkan sang nafsu yang bersemayam dalam dirinya.

Tidak ada komentar: