Sopian Muhammad
....
Suatu ketika Wanda merasakan ada sesuatu yang lain dengan perilaku papanya. Sebab sikap sang papa yang biasanya periang, akhir-akhir ini sering melamun dan menjadi lebih pendiam seperti memikirkan sesuatu. Bahkan ketika papanya itu memasuki rumah - saat pulang dari kantor - suara setengah berteriak memanggil-manggil Wanda tidak pernah terlontar lagi dari mulut lelaki itu.
“Mungkinkah papa sedang menghadapi masalah dengan pekerjaannya di kantor ?” kata hatinya.
“Papa punya masalah ya, dengan pekerjaan di kantor ?” tanyanya suatu ketika mengagetkan orang tua itu yang tengah duduk tak bergairah di sofa ruang tengah.
“Oh anu ! Iya,” jawabnya terbata-bata.
“Iya apa, Pa ?”
“Iya, Papa sedang banyak masalah di kantor,” ujarnya sambil memaksakan diri untuk tersenyum.
“Mungkin sebaiknya Papa cuti kerja aja dulu,” saran Wanda.
“Tidak Wanda. Justru kalau....”
“Kalau apa, Pa ?” potong Wanda penasaran.
“Nggak apa-apa. Pasti masalah pekerjaan di kantor bisa papa selesaikan. Percaya deh, sama papa, ya!” katanya sambil memaksakan diri untuk bersenyum.
Jawaban-jawaban papanya ternyata tidak membuat gadis cilik berusia empat belasan itu merasa puas. Tapi justru mengundang berbagai pertanyaan di dalam hatinya. Bahkan Wanda merasa, papanya seperti telah berbohong. Entah karena kebohongan itu terlihat oleh Wanda dari sorot mata orang tuanya, dari cara menjawabnya, atau mungkin karena kekuatan perasaan batin seorang anak. Namun demikian, Wanda tidak segera menunjukan ketidakpuasannya itu.
Bergantinya hari demi hari ternyata tidak membuat lelaki tersebut terlepas dari kebiasaannya yang sering melamun. Wanda yang diam-diam terus memperhatikan keganjilan tingkahlaku lelaki itu, semakin merasa iba melihatnya.
Untuk yang ketiga kalinya Wanda mendapat jawaban yang sama ketika dirinya bertanya mengenai sikap dan perilaku papanya. Wanda semakin yakin, bahwa papanya berbohong.
“Mungkinkah papa kesepian, karena hampir dua tahun dirinya hidup tanpa seorang pendamping semenjak meninggalnya mama. Jadi papa...,” kata hatinya. “Mungkinkah papa..... Tapi.....” Wanda terus bertanya-tanya dalam hatinya hingga ia sendiri merasa cemas. Cemas apabila kini yang dialami papanya ternyata memang seperti yang dipikirkan gadis itu.
Karena Wanda pun semakin merasa iba melihat papanya yang suka murung dan terkadang menyendiri, Wanda akhirnya mencoba mengungkapkan pertanyaan yang mengganjal di hatinya.
“Papa jangan berbohong terus deh, sama Wanda. Ada apa sih, sebenarnya hingga sudah seminggu ini papa sering terlihat murung dan melamun ?” desak Wanda. “Papa kesepian, ya ?”
“Ah tidak !” jawabnya seperti tersentak.
“Sudah deh, Pa ? Jangan ngebohongin Wanda terus. Kata papa kita tidak boleh berbohong. Dosa !” tegas Wanda. Sementara itu papanya terlihat menarik napas panjang seperti merasakan suatu beban.
“Benar kok, papa nggak apa-apa. Hanya masalah pekerjaan di kantor,” kilahnya datar.
Wanda tetap tidak percaya ucapan orang tuanya. Ia terus mendesak papanya dengan perkataan yang sempat membuat orang tua tersebut terkejut.
“Papa pasti kesepian ya setelah ditinggal mama. Papa juga pasti butuh perhatian ya…mungkin papa….”
“Mungkin apa ?” tanya orang tua itu penasaran.
“Mungkin perlu ada yang ngurusin papa.”
“Maksud Wanda ?” ujar lelaki itu seperti berpura-pura tidak mengerti. Sedangkan Wanda melihat adanya perasaan senang yang terpancar dari sorot mata papanya.
“Wanda nggak keberatan, kok, jika Wanda punya mama baru,” pancing Wanda. Mendengar ucapan Wanda seperti itu, kontan saja sang papa terlihat begitu bersemangat menanggapinya.
“Apa Wanda rela jika papa menikah lagi dan Wanda punya mama tiri,” katanya dengan pancaran mata berbinar penuh harap memandangi wajah Wanda. Wanda pun menangkap pancaran itu dan ia semakin tergugah untuk segera mengiyakannya. Meskipun sebenarnya, jauh dilubuk hatinya, Wanda merasa belum siap menerima wanita yang akan menggantikan peran mama kandungnya.
“Wanda rela, kok, Pa?” ucapnya pelan.
“Syukurlah kalau memang begitu. Sebenarnya papa sudah punya calon yang akan menjadi mamamu. Namun papa belum berani mengenalkannya pada Wanda. Ia wanita yang baik, dan papa yakin ia pun dapat memberimu kasih sayang. Tapi karena sekarang Wanda.... Nanti papa kenalkan deh. Sebab sudah lama calon mamamu itu ingin mengenal Wanda,” jelasnya dengan penuh semangat.
Sebulan kemudian, Wanda harus menerima kenyataan bahwa kini ia telah mempunyai mama baru. Awalnya ia cukup senang dengan kehadiran wanita tersebut. Namun tak lama kemudian, kehadiran Restu, mama tirinya itu, menimbulkan adanya perasaan lain di hati Wanda. Nampaknya anak gadis itu cemburu dengan adanya Restu di tengah-tengah keluarganya. Keberadaan mama tirinya, membuat Wanda merasa papanya kini lebih memperhatikan wanita tersebut daripada dirinya. Akibatnya, Wanda sering teringat mama kandungnya yang telah tiada dan kembali larut dalam lamunan dan kesedihan.
“Ma…Wanda kangen sama mama. Kenapa mama cepat-cepat ninggalin Wanda. Ma, Wanda kangen sama mama…,” ujar Wanda dengan suara tersedu-sedu sambil memandangi potret mamanya yang terpampang di dinding kamarnya. Sementara itu setetes demi setetes air matanya membasahi pipi gadis cilik nan cantik ini.
Rasa cemburu pada mama tirinya dan rasa kesal terhadap papanya membuat Wanda bingung apa yang harus dia perbuat. Sedangkan dirinya tidak berani mengungkapkan perasaan tersebut pada mereka termasuk pada papanya. Wanda menyadari, keberadaan Restu di tengah-tengah keluarga itu juga karena tawarannya. Selain itu Wanda pun tidak ingin papanya tersinggung dengan ucapannya.
Wanda hanya bisa memendam perasaannya, sehingga batinnya merasa tersiksa. Akibatnya tak jarang ia mengekspresikan perasaannya itu dengan sikap yang dapat menimbulkan kejengkelan bahkan kemarahan bagi orang tua manapun yang tidak mampu bersikap bijaksana dalam menghadapinya. Untungnya, Restu dapat dikatakan termasuk wanita yang cukup bijaksana, sehingga tidak terlalu sulit baginya dalam menghadapi sikap-sikap Wanda itu. Dia menyadari, jika dirinya mencintai papanya Wanda dan bersedia menjadi istrinya, maka sudah menjadi kewajibannya untuk menganggap dan memperlakukan Wanda seperti anaknya sendiri.
“Ada apa sayang ? Apa ada yang salah dengan sikap mama selama ini ? Katakanlah, mama nggak bakal marah, kok,” sapa Restu sambil membelai rambut anak perempuan yang tengah cemberut itu.
Meskipun berulangkali Restu bertanya, Wanda tetap bungkam. Bahkan terkadang ketus dalam menanggapinya. Namun sebagai seorang ibu yang penuh perhatian dengan naluri keibuannya, akhirnya Restu dapat memahami apa yang dirasakan Wanda. Dia merasa tidak sampai hati melihat Wanda yang terombang ambing dengan perasaannya.
“Pa ? Sepertinya Wanda belum sepenuhnya menerima kehadiran mama disini. Memang, awalnya sih, mama melihat Wanda mencoba untuk dapat menerima kehadiran mama. Namun kini dia tidak bisa melawan perasaannya sendiri. Sebab sepertinya Wanda belum siap benar menerima mama sebagai pendamping papa, sebagai mama tirinya,” jelas Restu. “Wanda cemburu, Pa ? Mama yakin itu. Mungkin karena kasih sayang dan perhatian papa kini harus terbagi sama mama,” lanjutnya.
“Sebenarnya papa juga sempat melihat adanya keanehan dengan sikap Wanda akhir-akhir ini,” ujar suaminya.
“Demi kebaikan Wanda, untuk sementara Waktu sebaiknya mama tinggal dulu sama orang tua di Bogor. Toh, dari Jakarta sini masih bisa terjangkau kalau ada apa-apa. Mama tidak ingin kehadiran mama hanya akan membuat batin Wanda terus tersiksa. ”
Walaupun lelaki itu mempercayai ucapan sang istri, namun ia tetap bermaksud mempertanyakannya pada Wanda. Berkali-kali orang tua itu bertanya pada Wanda, namun anak itu tetap diam seribu bahasa. Bahkan ia lebih memilih bergegas ke kamarnya dan mengunci diri. Lelaki itu merasa kebingungan dengan sikap anaknya hingga akhirnya ia menyetujui usul istrinya, agar untuk sementara waktu Restu meninggalkan rumah itu.
Benar saja. Setelah Restu meninggalkan rumah tersebut wajah Wanda tidak lagi terlihat cemberut dan mengunci diri di kamar. Namun keadaan ini tidaklah berlangsung lama. Sebab ketika papanya kian sibuk dengan pekerjaan kantornya yang sering diselesaikan di rumah, bahkan tak jarang pula harus ke luar kota, membuat Wanda sering kesepian. Sedangkan Bi Minah dan Mang Udel pembantu di rumah itu yang berusaha menghiburnya, tidak mecairkan rasa kesepian Wanda. Begitu pula dengan kehadiran kakek-neneknya yang pada waktu-waktu tertentu sempat mengunjunginya.
Larutnya Wanda dalam perasaannya itu membuat dirinya tiba-tiba sering teringat pada perhatian dan kasih sayang Restu. Dia sering terbayang ciuman mama tirinya itu pada pipi dan keningnya saat akan pergi sekolah dan menjelang mau tidur. Wanda pun tak lupa dengan kesabaran wanita tersebut dalam menghadapi sikapnya yang sering menjengkelkan. Sepertinya kini Wanda merindukan Restu, mama tirinya.
Karena batinnya merasa tersiksa akibat terus menerus memendam perasaan tersebut, maka Wanda memantapkan niatnya dan memberanikan diri untuk mengungkapkan perasaannya pada sang papa.
Suatu ketika dia mencoba menghampiri papanya yang tengah sibuk mempersiapkan diri untuk kembali ke luar kota selama beberapa hari karena tugas dari kantornya. Namun tiba-tiba langkahnya terhenti. Wanda teringat dengan sikapnya pada hari-hari terakhir menjelang kepergian Restu. Ia yakin, papanya pun tahu bahwa karena dirinyalah mama tirinya itu terpaksa mengalah sehingga ia pergi dari rumah itu.
Cukup lama Wanda berdiri mematung. Ia merasa malu dengan sikap-sikapnya selama ini. Namun Wanda mencoba untuk meneruskan langkahnya walaupun kebimbangan hati menggelayuti. Padahal jarak untuk sampai ke papanya yang tengah duduk, sibuk dengan memasukan berkas-berkas ke dalam kopernya tinggal hanya sekitar tiga atau empat langkah lagi.
“Papa...! Wanda kangen sama mama Restu !” katanya setengah berteriak. Papanya langsung terperanjat, kemudian menoleh kebelakang, ke arah anaknya.
“Wanda kangen sama Restu,” sambungnya dengan suara melemah. Orang tua itu kemudian tersenyum lalu menghampiri Wanda dan memeluk anak gadis itu yang masih berdiri mematung.
Bogor, 16 Oktober 2004
Tidak ada komentar:
Posting Komentar