Selasa, 29 Juli 2008

Budaya Kekeliruan Menempatkan Makna Pede di Kalangan Generasi Mudanya

Sopian Muhammad


Percaya diri atau pede - begitu kata populernya dikalangan muda kita - terkait dengan keberanian untuk bersikap, tampil dalam menghadapi sesuatu. Pede, sangat penting dimiliki setiap orang. Apalagi bagi generasi mudanya.

Salah satu permasalahan yang sangat mendasar, adalah ketika makna pede ini tidak lagi dilandasi oleh nilai-nilai yang seharusnya dijunjung tinggi. Baik nilai-nilai luhur budaya maupun agama.

Munculnya berbagai kekeliruan dalam menempatkan makna pede, tidak terlepas dari lemahnya pendidikan, penghayatan, dan pengamalan terhadap nilai-nilai tadi. Sedangkan orang yang menjunjung tinggi nilai-nilai luhur budaya atau agama, senantiasa menempatkan makna pede yang sejalan dengan nilai-nilai tersebut. Hal ini tercermin dari sikap dan perilakunya, atau ketika bergaul dengan lingkungannya.

Kekeliruan menempatkan makna pede sudah sangat menggejala dalam kehidupan bangsa kita, khususnya di kalangan generasi mudanya. Misalnya, menyikapi makna pede dengan ukuran fisik – materi (semata). Artinya seseorang hanya merasa pede apabila memiliki fisik yang sempurna plus menarik: cantik atau tampan. Atau yang mengandalkan kepedean dari segi materi.

Kekeliruan lain dalam menempatkan makna pede yaitu berdasarkan tren atau modernisasi. Meskipun modernisasi ini dimaknai dengan salah kaprah pula. Contohnya adalah merasa pede dengan mengikuti berbagai tren yang sebenarnya seringkali berseberangan dengan nilai-nilai luhur budaya atau agama yang seharusnya dijunjung tinggi. Baik tren dalam fashion, fun, atau bahkan food.

Bicara soal tren (trend) fashion, pakaian yang supermini, superketat, dan terbuka seringkali menjadi modelnya. Masalahnya, banyak generasi muda yang merasa pede dengan penampilan seperti itu. Padahal, dilihat dari dampak sosial, cara berpakaian yang cenderung seronok seperti itu (bagi perempuan) malah dapat mengundang birahi para lelaki. Atau ada pula diantaranya yang bisa melontarkan perkataan bernada cabul yang melecehkan harga diri si perempuannya. Bahkan bisa mengundang tindak pemerkosaan yang merenggut kehormatan.

Sedangkan bersenang-senang dengan cara tertentu juga merupakan bagian dari tren (fun) yang dianggap menimbulkan kepedean. Padahal cara bersenang-senang ini tidak sejalan dengan keluhuran nilai-nilai budaya atau agama seperti seks bebas, minum-minuman keras, mengkonsumsi narkoba, dan yang lainnya.

Munculnya gejala kepedean lain, ternyata dapat dicermati pula dalam menjadikan (memilih) makanan tertentu (food). Misalnya merasa pede apabila memilih makan yang berbau luar negeri ketimbang khas Indonesia. Inilah konsekuensi ketika food dijadikan salah satu tren atau gaya hidup.

Kalau dikaji secara lebih mendalam, dibalik kekeliruan dalam memaknai kepedean ini, sebenarnya tidak terlepas dari pengaruh nilai-nilai budaya Barat. Dengan kekuatan ekonomi dan politik yang didukung oleh film-filmnya, penguasaan teknologi informasi dan media massanya, pengaruh budaya Barat telah membuat sebagian generasi muda harapan bangsa terpedaya. Ironisnya, diantara unsur masyarakat bahkan pemerintah – sadar atau tidak – turut membudayakan/memperkuat pengaruh negatif dari budaya Barat ini.Contoh sederhananya adalah dengan semakin banyaknya akses di negeri ini yang membuat generasi muda kita terpengaruh oleh nilai-nilai Barat yang berseberangan dengan keluhuran nilai-nilai kita (budaya dan agama).

Memang, rakyat, termasuk generasi mudanya, diminta untuk tidak mengikuti nilai-nilai Barat yang dianggap negatif atau berseberangan dengan budaya kita. Tapi, jika itu yang lebih ditekankan, betapa tidak bertanggung jawabnya pemerintah kita. Padahal kenyataannya, (semakin) banyak rakyat terutama generasi mudanya, terlena dan terpedaya oleh pengaruh negatif budaya Barat. Bahkan mereka merasa pede dengan menganut gaya hidup seperti itu.

Sungguh! Jika pemerintah lebih banyak menyerahkan kepada rakyatnya untuk “memilih” seperti itu, betapa besar pengorbanannya. Sebab yang dikorbankan adalah nilai-nilai luhur budaya yang menjadi jati diri bangsa.

Harus ada langkah-langkah riil untuk mengantisifasi agar pengaruh negatif dari budaya Barat ini tidak semakin merebak dan meracuni moral generasi muda kita. Lebih idealnya, bagaimana agar generasi muda merasa pede menjalankan keluhuran nilai-nilai budaya bangsa dalam hidupnya. Sertaya tetap menjaganya agar mereka tidak terpengaruh dari nilai-nilai destruktif budaya asing.

Bukankah mereka adalah harapan bangsa? Penentu masa depan negeri ini?

Tidak ada komentar: