Sopian Muhammad
Program pemerintah di sektor pendidikan nasional, sebetulnya sudah baik. Coba lihat Rencana Strategis Pendidikan Nasional (Renstra Diknas) Depdiknas. Programnya dilandasi tiga pilar utama yang begitu hebat: peningkatan pemerataan dan perluasan akses pendidikan; peningkatan mutu, relevansi, dan daya saing pendidikan; serta penguatan tata kelola, akuntabilitas, dan citra publik pengelolaan pendidikan. Hebat, bukan? Meskipun kehebatannya masih dalam program.
Persoalannya, yang seringkali menjadi persoalan, tidak sesuainya antara program dengan pelaksanaan. Apalagi ini program besar. Program yang terkait dengan hajat hidup masyarakat Indonesia, Bung!
Kalau bicara faktor penyebabnya, pasti macam-macam. Mulai dari lemahnya kewenangan Depdiknas untuk memastikan agar program yang disusunnya itu bisa terlaksana di daerah-daerah, kewenangan Dinas Pendidikan yang secara teknis berorientasi pada kebijakan pemerintah daerah (bukan Depdiknas), masih rendahnya budaya kerja SDM dari institusi yang membidangi pendidikan, kurangnya berbagai fasilitas dalam kegiatan belajar mengajar (sekolah dan perguruan tinggi) termasuk rendahnya kualitas guru dan dosen, hingga relatif minimnya anggaran pendidikan. Nah, belum termasuk munculnya kecenderungan berbagai penyimpangan penggunaan dana dan penyalahgunaan jabatan. Pokoknya buanyaak, deh.
Kalau bicara kuranggnya anggaran, tentu bukan hanya Depdiknas. Semua departemen atau kantor kementerian, berargumen sama: anggarannya kurang. Depdikbud, misalnya, juga demikian. Padahal kepariwisataan yang dibidangi oleh departemen ini adalah suatu industri yang notabene penghasil devisa terbesar kedua setelah minyak dan gas (migas).
Alasan kurangnya anggaran bagi departemen/kantor kementerian pada prinsipnya sama: APBN kita terbatas. Sedangkan utang negara kita masih berjibun. Jadi, tampaknya, melunasi utang, terutama utang luar negeri, menjadi “prioritas program pembangunan nasional” juga. Jika ini berlanjut, saya khawatir, APBN kita menjadi APBN “special for loan”.
Okelah kita maklumi, karena utang negara harus dilunasi. Namun setelah itu pemerintah jangan keranjingan berutang lagi. Sebab bisa-bisa, selamanya kebijakan penggunaan APBN lebih berorientasi pada kepentingan pemberi utang (luar negeri). Sehingga kita tidak memiliki kemandirian dalam anggaran. Dampaknya ya itu: program pembangunan kita terganggu karena anggarannya kurang. Sekalipun, memang, menghentikan utang, tidak serta merta membuat anggaran program meningkat. Sebab meningkatnya dana APBN divariabelisasikan dengan pertumbuhan ekonomi diberbagai sektor riil.
Secara pribadi, saya tidak setuju apabila kurangnya anggaran selalu menjadi alasan “kacaunya” program pembangunan pendidikan. Anggaran, hanyalah salah satu pendukung, bukan satu-satunya pendukung. Intinya, bangsa ini jangan selalu ber-apologi karena kurangnya anggaran. Sebab kenyataannya, cukupnya anggaran untuk suatu program tertentu di bidang pendidikan, seringkali malah program itu tidak terlaksana sebagaimana mestinya. Sedangkan dana yang sudah dianggarkan, raib entah kemana.
Kiranya, kita sudahi dulu bicara masalah anggaran ini. Sebab, membahas masalah ini sebenarnya tidak begitu penting pada kesempatan ini. Toh kenyataannya, anggaran untuk program pendidikan nasional ini memang terbatas. Karena APBN-nya juga sangat terbatas. Mau bicara apalagi kita. Sedangkan, kami pun, di Komisi X sudah berulang kali meminta agar pemerintah memberikan anggaran yang memadai.
Kini, gilirannya untuk bicara mengenai kinerja institusi dan budaya kerja kita. Institusi pendidikan perlu dibenahi dengan mengoptimalkan anggaran yang ada, sejauh yang bisa dilakukan.
Kemudian, budaya kerja kita, terutama yang tugas dan tanggung jawabnya memiliki korelasi dalam memajukan pembangunan pendidikan nasional, alangkah bijaksananya apabila direnungkan kembali. Apakah kita: sebagai anggota DPR RI di Komisi X, pejabat dan aparatur di Depdiknas dan Dinas Pendidikan, penyelenggara pendidikan dan para guru serta dosennya, sudah merasa sebaik mungkin menjalankan kewajibannya itu sesuai dengan kemampuan? Ingat! “Sebaik mungkin sesuai dengan kemampuan?”
Jika belum dan masih ber-apologi pada kurangnya anggaran atau gaji yang diterima, berarti kita memang masih rendah dalam berkomitmen. Komitmen untuk bekerja sebaik mungkin sesuai dengan kemampuan. Apalagi, komitmen itu membutuhkan perjuangan dan pengorbanan. Terlebih berkomitmen di bidang pendidikan. Bidang yang memang sarat dengan komitmen atau tanggung jawab. Bidang yang pada akhirnya bertujuan untuk melahirkan manusia Indonesia yang memiliki komitmen terhadap kemajuan bangsanya.
Bagaimana bicara komitmen dan tanggung jawab, kalau ternyata di institusi yang membidangi pendidikan, masih saja banyak pejabat atau aparaturnya yang tidak disiplin, serta menggunakan anggaran negara yang diselewengkan untuk kepentingan individu dan segelintir orang.
Bagaimana bicara komitmen, apabila penyelenggara pendidikan, guru dan para dosennya masih lebih sibuk mengurusi pemasukan dana dari peserta didiknya, daripada mengurusi akhlak dan tingkat kemajuan pendidikan mereka. Bahkan ironisnya, ternyata ada saja para pendidik yang melakukan pelecehan seksual dengan anak didiknya sebagaimana di beritakan media massa.
Dengan tidak mengurangi rasa hormat kepada rekan-rekan di Komisi X, pada kesempatan ini juga saya merasa perlu mempertanyakan: bagaimana bicara komitmen, jika ternyata kita masih malas hadir rapat, padahal yang dibahas adalah mengenai nasib pendidikan bangsa kita?
Secara pribadi, saya mengajak Anda untuk instrospeksi terhadap kinerja kita selama ini. Sebagai orang-orang yang diberi kepercayaan untuk memajukan pendidikan nasional. Untuk yang terakhir kali: Tolong jangan katakan lagi, bahwa anggaran untuk pendidikan, atau gaji yang kita terima, masih kurang.
Jika kurangnya anggaran atau gaji yang tetap menjadi alasannya: cukup gentle kah kita melepaskan diri dari pekerjaan (jabatan) yang kita duduki itu?
Jika Anda bersedia, berarti Anda termasuk orang yang benar-benar memiliki “komitmen”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar