Rabu, 19 November 2008

Kita dan Pelawak





Sopian Muhammad


Bukan pelawak namanya kalau dia tidak (bisa) melucu. Bahkan demi meningkatkan kelucuannya, ketika di panggung atau di layar hiburan, banyak di antara mereka yang rela berpenampilan-berpakaian sedemikian rupa walaupun terlihat konyol. Tetapi justru karena kekonyolan itulah yang seringkali mengundang para penonton tertawa.

Bagi pelawak, kerelaan untuk terlihat konyol dengan penampilan-pakaian yang dikenakannya saat melawak tidaklah cukup. Termasuk bagi sebagian pelawak yang menjadikan penampilan-berpakaian tertentu sebagai ciri khasnya. Sebab untuk mengundang kelucuan seringkali membutuhkan optimalisasi potensi dari dalam diri berupa kecerdasan emosi bahkan kecerdasan intelektual dari para pelawaknya.

Akan tetapi, ketika kita merasakan kelucuan saat mereka melawak, mungkin kita tidak melihat adanya "kecerdasan" dibalik pernyataan-pernyataan, banyolan, mimik, atau berbagai sikap yang mereka tunjukan ketika itu. Yang tampak, justru kekonyolan atau malah kepandiran-kepandiran. Namun, karena kekonyolan dan kepandiran yang sengaja mereka perlihatkan bertujuan untuk bisa mengundang kelucuan, disinilah adanya peran kecerdasan emosi bahkan kecerdasan intelektual tadi. Kiranya, berkat kecerdasan itulah, Rowan "Mr. Bean" Atkinson, misalnya, berhasil menjadi salah satu pelawak dunia yang sangat sukses.

Berbicara mengenai pelawak, Indonesia merupakan negara yang memiliki banyak pelawak. Baik secara perorangan, maupun secara grup. Tetapi, dalam tulisan ini saya lebih tertarik membahas "para pelawak yang menganggap dirinya bukan pelawak". Sebab bagi saya, hal ini jauh terasa lebih lucu. Kelucuannya, mereka tidak bermaksud melucu, namun tingkah polah mereka terlihat lucu. Lucu, kan?

"Pelawak" yang saya maksud adalah para pelawak yang wajah-wajah mereka tidak terlihat "lucu" seperti Jojon atau Mr. Bean. Pakaian yang mereka kenakan pun tidak sengaja dibuat lucu seperti badut atau berpakaian ala wanita seperti Kabul - yang lebih popular disebut "Tesy" - atau "Aming", misalnya. Bahkan para "pelawak" yang ini tampak berwibawa dan intelek dengan penampilannya itu. Mereka pun sama sekali tidak terkesan konyol, bodoh atau pandir. Tidak seperti pelawak (sungguhan) yang pada umumnya sengaja menunjukkan kesan konyol, bodoh atau pandir saat tampil.

Namun, jika dicermati secara mendalam, para "pelawak" yang tampak berwibawa dan intelek itu - malah seringkali tampil jaim (jaga image), mereka pun sesungguhnya terlihat "lucu" dengan - maaf - "kekonyolan" mereka, meskipun mereka sama sekali tidak merasa demikian.a Apalagi mereka menganggap/dianggap orang-orang intelek, pintar, bahkan terhormat. Tetapi, justru disitulah terlihat kelucuan mereka.

Konon, Ucup Kelik, Presiden I BBM (Baru Bisa Mimpi), termasuk pandai melucu dalam tema-tema yang berbau masalah politik atau menyindir (kebijakan) pemerintah. Namun, rasanya jauh lebih lucu dibandingkan sebagian politisi dan pejabat di Republik ini. Alasannya: pertama; karena mereka bisa "dijadikan bahan untuk melucu" oleh para pelawak itu. Kan, lucu, sikap atau pernyataan para politisi yang terkenal pintar atau intelek itu dijadikan bahan lawakan. Sama lucunya, dengan sikap atau pernyataan para pejabat yang sok pintar dan berwibawa namun dijadikan bahan lawakan. Kalau fenomena keberadaan para politisi dan pejabat itu tidak lucu, ngapain juga Ucup Kelik, misalnya, mengambil bahan lawakan dari mereka. Kira-kira, kan logikanya seperti itu.

Indikasi adanya kelucuan dari sikap atau pernyataan politisi dan para pejabatnya, yaitu dengan adanya istilah "dagelan politik". Munculnya istilah tersebut karena adanya kelucuan dari para politisi atau pejabatnya tadi. Lucunya lagi, apabila orang-orang yang melontarkan istilah "dagelan politik" itu, ternyata tanpa disadarinya juga termasuk dalam "pemain" dagelan tersebut.

"Dagelan politik" merupakan "lawakan intelektual". Kelucuannya dapat dirasakan dengan pemahaman intelektual pula. Misalnya, mereka yang sering menggembar-gemborkan demokrasi namun ternyata diam-diam "berkonspirasi" melakukan cara-cara kotor demi mencapai suatu ambisi. Mereka yang berbicara tentang pemberantasan korupsi dan kolusi, ternyata diam-diam malah sibuk memperkaya diri dengan jalan kolusi. Mereka, para aparatur pemerintah dan penegak hukum yang seharusnya mengayomi masyarakat, malah memeras, bahkan menindas. Sementara itu, tokoh-tokoh yang seringkali bicara atas nama Tuhan, malah sibuk mendekatkan diri dengan kekuasaan. Lucu, kan? Awas, ya, kalau tidak lucu!

Kita memang tidak perlu tertawa untuk merasakan kelucuan dari tingkah polah para pelawak macam ini, meski lawakan mereka "lebih lucu" dari lawakan para pelawak pada umumnya. Sebab, kelucuan dari para pelawak model begitu, sesungguhnya adalah keironian. Suatu paradoksisasi dari aturan dan nilai-nilai. Jadi, jika lawakan mereka terlihat "lebih lucu", sesungguhnya karena tinjauan moralitas, norma-norma, religiusitas. Sedangkan kelucuan dari penampilan orang-orang yang profesinya memang pelawak, karena tinjauannya adalah hiburan (entertaint).

Meskipun hal yang ironi tadi tidak mesti mengundang tawa, namun jika mencermati lebih jauh tingkah polah para "pelawak elite" ini, sebenarnya bisa menimbulkan gelak tawa. Coba saja perhatikan pada saat menjelang Pemilu legislatif dan pemilihan pasangan presiden (Pilpres) - wakil presiden (Pilwapres). Para calon anggota legislatif (caleg), konon kabarnya ada saja yang menemui paranormal atau mbah dukun agar mereka terpilih menjadi anggota DPR/DPRD. Di antara mereka pun banyak yang tampil seperti orang-orang suci dan tiba-tiba menjadi dermawan. Bahkan, esok pagi menjelang hari pencoblosan suara (Pemilu), di antara mereka sibuk membagi-bagikan uang dan sembako. Istilahnya: "serangan fajar".

Menjelang pilpres dan pilwapres, para kandidatnya pun tampil lucu dalam spanduk ataupun gambar-gambar di media luar ruang yang di pasang. Pasalnya, slogan atau kalimat-kalimat kampanye yang tertulis, ada saja yang mencerminkan kekonyolan bahkan - sekali lagi maaf -kepandiran. Lucunya lagi, kalimat tersebut dapat langsung membuat seseorang tertawa, tanpa perlu menelaahnya secara mendalam. Contohnya, kalimat "Tegakkan nilai-nilai Islam" seperti yang terpampang dalam suatu spanduk partai tertentu, tetapi kader-kadernya di legislatif dan di pemerintahan tidak sedikit yang terlibat kasus korupsi atau pelanggaran syar'i lainnya.

"Pelawak" sebenarnya ada di mana-mana. Termasuk mungkin juga di lingkungan sekitar kita. Atau barangkali, kita pun sesungguhnya termasuk dalam kategori "pelawak" pada konteks ini. Cobalah kita berkaca dalam cermin besar yang berbingkai moralitas - religiusitas. Perhatikan mengenai diri kita dengan secermat mungkin. Dari hal yang paling kecil hingga yang paling besar. Jika kita mampu melakukannya, kita pasti akan merasakan adanya kelucuan.

Seandainya kita sudah berhasil melihat berbagai "kelucuan" dari diri kita selama ini, saya kira inilah modal dasar bagi kita untuk segera menginsafinya untuk tidak lagi menjadi "pelawak." Sebab kita tentunya tidak ingin menjadi bahan "tertawaan". "Tertawaan" dalam pandangan moralitas-religiusitas. tertawaan yang menyakitkan hati bagi orang yang berhati.

Tidak ada komentar: