Jumat, 21 November 2008

Ada Apa dengan (Ungkapan) Bahasa Gaul?

Sopian Muhammad


“Gaul, dong!”

“Pede aja lagi!”

“Kasihan deh, Lu!”

“Nyantai aja, Coy!”

Begitulah antara lain ungkapan dari bahasa gaul yang seringkali digunakan di kalangan remaja kita. Memang, nggak salah kok, apabila para remajanya menggunakan ungkapan-ungkapan dari bahasanya gaul ini. Yang salah adalah, jika dalam memaknai ungkapan-ungkapan tersebut tidak lagi mengindahkan norma-norma yang berlaku (normlessness). Baik norma-norma etika maupun agama.


Gaul, dong!

Dalam kontes sosial pergaulan remaja, “gaul” bukanlah sekadar kata. Melainkan sudah menjadi istilah atau ungkapan yang ruang lingkupnya menyentuh berbagai perilaku atau gaya hidup. Sayangnya, istilah atau ungkapan itu cenderung mengandung makna yang bertentangan dengan norma-norma tadi. Contoh: berpacaran sambil bermesraan bahkan lengkap dengan ngeseks-nya disebut gaul, minum minuman keras (ngedrink) dianggap gaul, menggunakan obat terlarang (ngedrugs) disebut gaul, berjudi (ngegambling) atau yang lainnya juga dianggap “gaul”. Begitu pula dengan kebiasaan nongkrong, ngeceng, dan sejenisnya.

Kata “gaul” yang sudah menggejala bahkan membudaya itu, disadari atau tidak, memiliki makna psikologis yang relatif cukup kuat pengaruhnya dalam komunitas pergaulan remaja. Akibatnya, karena ingin disebut/dianggap “gaul”, tidak sedikit diantara remajanya yang ikut-ikutan untuk segera memiliki pacar, ngedrink, nyimenk, ngedrugs, atau yang lainnya.


Pede aja, lagi !

Bahasa gaul yang ini, ni, mengungkapkan perlunya seseorang untuk “percaya diri” (pede). Namun sayangnya, dalam kehidupan sosial sebagian remajanya, dalam memaknai “percaya diri”, juga seringkali tidak dibatasi oleh norma-norma etika, moral, bahkan agama. Misalnya, ada seorang ABG putri disarankan temannya (atau bahkan orangtuanya sendiri) agar tetap “pede” dengan rok mini dan baju “you can see” yang dikenakannya. Padahal pakaian semacam itu jelas-jelas mempertontonkan aurat. Tapi, apa kata mereka? “Pede aja, lagi!”

Atau, bisa jadi, si gadis tadi yang justru merasa “pede” jika ia memakai pakaian seperti itu – sekalipun teman atau orangtuanya yang melarang. Katanya, “Justru gue merasa pede dengan penampilan seperti ini!”

Contoh lainnya, seorang pemuda/pemudi merasa “pede” ketika tampil dalam suatu ajang, lantaran wajahnya yang cantik atau ganteng. Padahal, dia sendiri tidak begitu peduli jika sikap atau perilakunya menyakiti orang lain. Katanya, “Emang gue pikirin! Yang penting, pede aja, lagi!” Pokoknya, Masih banyak contoh kasus lain yang menunjukkan perlunya seseorang bersikap “pede” namun mengabaikan/bertentangan dengan tuntunan etika, moral, bahkan agama.

Apabila ukuran “pede” seperti itu, berarti nggak bermutu pengertian “pede” yang dimaksud. Mestinya, pemahaman “pede” harus ditempatkan dalam ukuran atau standarisasi nilai-nilai etika, moral, dan agama. Sedangkan, merasa “pede” setelah memakai deodoran di ketiak, itu sih, nggak masalah. Daripada bau ketiak dan mengganggu orang lain?


Kasihan deh, Lu!

Ungkapan yang ini: “Kasihan deh, Lu!” – juga cenderung normlessness. Sebab ungkapan tersebut seringkali terlontar pada konteks yang tidak tepat. Sebagai contoh, seorang remaja yang tidak mau mengikuti tren tertentu dianggap: “Kasihan deh, Lu!”. Begitu pula dengan remaja yang membatasi diri dari perilaku lain yang memang harus dihindari karena tidak sesuai dengan nilai atau norma-norma agama. Misalnya, karena tidak pernah berajojing sambil triping (ngedrugs), dikatain: “Kasihan deh, Lu!”

Bisa juga, ungkapan “Kasihan deh, Lu” ini tertuju pada seorang (remaja) yang sama sekali tidak mengetahui berbagai informasi yang memang sesungguhnya tidak perlu untuk diketahui. Misalkan saja dia sama sekali tidak mengenal siapa itu: Cinta Laura, Agnes Monica, Bam (Samson), bahkan Ariel (Peterpan). Dia pun dikatain: “Kasihan deh, Lu!” Atau yang lainnya

Jadi, jelaslah bahwa makna dibalik ungkapan “Kasihan deh, Lu!” seperti yang dimaksud dalam kasus-kasus di atas, sudah tidak tepat lagi maknanya. Keliru, man!


Nyantai aja, Coy!

Kekeliruan lainnya yang menggejala dalam ungkapan bahasa gaul remaja adalah: “Nyantai aja, Coy!”

Tentu tidak masalah dalam kondisi tertentu kita “nyantai”, lebih tepatnya adalah “bersantai” atau istirahat untuk menghilangkan kepenatan. Namun yang menjadi masalah apabila “Nyantai aja, Coy” di sini konteksnya mirip dengan lagu iklan Silver Queen: “…mumpung kiitaa masih muda, santai saja…” Ingat kan?

“Nyantai aja, Coy!” yang dilontarkan sebagian remajanya seringkali bermakna ketidakpedulian terhadap kemajuan atau prestasi diri. Sebagai contoh, seorang remaja mengatakan, “Nyantai aja, Coy!” kepada temannya, karena temannya itu terlihat gelisah lantaran belum belajar untuk persiapan ujian besok pagi.

“Nyantai aja, Coy!” terkadang bisa pula menunjukkan ketidakpedulian terhadap lingkungan sosial atau orang lain. Misalnya, seorang remaja putri sedang asyik ngobrol ditelepon umum sementara banyak orang antri menunggunya. Ketika salah seorang yang antri menegurnya, ia malah menjawab “Nyantai aja, Coy!”

Jika mau dicermati, tentu masih banyak ungkapan “Nyantai aja, Coy!” yang sering dilontarkan para remajanya namun tidak sesuai dengan konteksnya bahkan keluhuran nilai-nilai akhlak. Repotnya, bila dinasihati untuk menjauhi berbagai perilaku tidak baik – termasuk untuk tidak menggunakan ungkapan yang tidak sesuai dengan konteksnya itu – , maka dengan mudah diantara mereka malah mengatakan, “Nyantai aja, Coy!”


Membudayakan bahasa gaul yang positif

Berbagai ungkapan seperti: “Gaul, dong!”, “Pede aja lagi!”, “Kasihan deh, Lu!”, “Nyantai aja, Coy!” atau mungkin berbagai ungkapan lain, dalam konteksnya sekali lagi seringkali tidak tepat atau tidak dibatasi oleh nilai-nilai tadi: etika, moral agama.

Karena ungkapan dari “bahasa gaul” itu mempunyai pengaruh psikologis yang relatif cukup kuat dalam mempengaruhi seorang remaja dalam komunitas pergaulannya, maka perlu adanya semacam upaya membudayakan “bahasa gaul” yang “positif” di kalangan mereka.

Berikut contoh dalam mengungkapkan “Gaul dong!” yang disesuaikan dengan konteksnya (sejalan dengan nilai-nilai etika/moral/agama): “Sebagai seorang pelajar atau mahasiswa, gaul dong dengan buku!” “Masak pelajar atau mahasiswa gaulnya dengan ngedrugs dan ngeseks”. “Masak remaja muslim gaulnya seperti itu. Gaul dong dengan masjid”.

Sedangkan contoh dalam mengungkapkan “Pede aja, lagi!” yang disesuaikan dengan konteksnya (sejalan dengan nilai-nilai etika/moral/agama): “Kalau sudah belajar, pede aja lagi!” “Kalau kita berada dalam kebenaran, pede aja lagi!” “Kalau sudah berpakaian sopan, kenapa mesti tidak pede!”

Adapun contoh dalam mengungkapkan “Kasihan deh, Lu!” yang disesuaikan dengan konteksnya (sejalan dengan nilai-nilai aetika/moral/agama): “Kasihan deh Lu! Masak mengaku pelajar atau mahasiswa tetapi berurusan dengan polisi (karena terlibat narkoba misalnya)”. “Masak seorang muslim tidak bisa membaca Al Qur’an. Kasihan deh, Lu!”.

Kemudian, contoh dalam mengungkapkan “Nyantai aja, Coy !” yang disesuaikan dengan konteksnya (sejalan dengan nilai-nilai etika/moral/agama): “Kalau kita sudah belajar dengan maksimal, nyantai aja.”

Sebagai remaja yang cerdas, tentu nggak mau dong termasuk orang yang “asbun” alias “asal bunyi” dalam bicara. Nah karena itu, sebaiknya kita meninjau kembali apakah “bahasa gaul” yang setiap hari digunakan itu sudah sesuai/tidak konteksnya dengan nilai-nilai kesopanan dan moral/agama. Biar nggak asal bunyi.

Bahasa yang digunakan seseorang mencerminkan pribadinya. Silahkan saja menggunakan “bahasa gaul” sebagai cerminan bahwa kita memang remaja yang senang bergaul. Namun hati-hati, jangan karena kita merasa bangga jadi “anak gaul” tetapi “bahasa gaul” yang digunakan tidak tepat konteksnya atau bertentangan dengan nilai-nilai tadi. Jika demikian, bisa-bisa kita malah disebut “anak yang salah gaul”.

Tidak ada komentar: