Rabu, 19 November 2008

Kita dan Pelacur

Sopian Muhammad


Dalam pemahaman umum, yang dimaksud dengan pelacur adalah perempuan yang "menjual kehormatan dirinya" (baca: tubuhnya) demi uang. Dalam pandangan masyarakat - termasuk kita barangkali - para pelacur dianggap sebagai manusia kotor dan najis. Dengan demikian, mereka seolah dianggap sudah tidak lagi memiliki "kehormatan" diri sebagai manusia.

Berdasarkan pemahaman dan pandangan mengenai sebutan pelacur ini, terasa ada ketidakadilan: pertama; istilah "pelacur" ditinjau dari segi pengertian. Secara etimologi, "pelacur" berasal dari kata "pe" yang berarti "orang" dan "lacur" yang diartikan sebagai "perbuatan tidak baik" (lihat: KUBI 1985 : 548). Jadi, "pelacur" berarti "orang yang melakukan perbuatan tidak baik".

Dari pengertian ini, setiap orang yang "berbuat tidak baik" kiranya pantas disebut pelacur. Tidak terkecuali saya dan Anda. Namun kenyataannya, hanya perempuan yang "menjual tubuhnya" yang diidentikkan sebagai "pelacur". Sedangkan manusia yang melakukan "perbuatan tidak baik" lainnya luput dari sebutan ini. Termasuk mereka yang "menjual kebenaran" (kejujuran dan keadilan) yang merupakan nilai-nilai dasar dari kehormatan manusia.

Inti masalah ketidakadilan dari pengertian ini adalah, karena sebutan "pelacur" sudah terlanjur diperuntukkan bagi perempuan yang menjual tubuhnya (seks) demi uang. Selain itu perbuatan ini seakan dianggap paling buruk dan hina dibandingkan dengan "perbuatan tidak baik" lainnya seperti korupsi, kolusi, manipulasi, serta "sisi-sisi" lain yang mengeksploitasi ambisi. Padahal konon, katanya, banyak diantara para perempuan yang disebut pelacur itu, "terpaksa" menjual tubuhnya Sedangkan koruptor, kolutor, manipulator seringkali sengaja melakukan perbuatan-perbuatan tersebut, bahkan merasa bangga dengan berbagai perilaku kotornya.

Berdasarkan pemahaman ini, bukankah sebutan "pelacur" terasa semakin tidak adil jika hanya ditujukan pada para perempuan (PSK) yang menjual tubuhnya demi uang?

Kedua; "pelacur" ditinjau dari segi "moralitas". Para perempuan yang "menjual tubuhnya demi uang" sering dikatakan sebagai wanita yang sudah "hilang kehormatannya." Padahal, para koruptor, kolutor, manipulator, dan perilaku "kotor" lainnya yang jelas-jelas "menjual kebenaran" (kejujuran-keadilan) pada dasarnya juga "menjual kehormatan". Dengan demikian - kalau mau fair - mereka pun sebenarnya bisa dianggap telah "hilang kehormatannya".

Ironisnya, di antara mereka yang melakukan berbagai perilaku "kotor" tersebut malah seringkali (merasa/dianggap) terpandang mulia dan terhormat di mata masyarakat. Sedangkan mereka, melakukannya tidak hanya demi uang, tetapi juga demi jabatan atau kedudukan (kekuasaan). Suatu perbuatan yang dimotivasi bukan karena "keterpaksaan" melainkan karena "keserakahan". Jadi, sekali lagi, bukankah sesungguhnya mereka pun pantas disebut sebagai "pelacur" dan dianggap sebagai manusia yang telah "hilang kehormatan" dirinya?

Pada kesempatan ini, ijinkan saya mengilustrasikan keluh kesah imajiner seorang perempuan yang merasa terpaksa menjadi pelacur. Ia protes sekaligus menggugat atas ketidakadilan yang selama ini dirasakannya - walaupun dia menyadari, keterpaksaannya tetap tidak mendispensasikan dirinya dari sebutan "si pelacur". Secara moral, tidak pula memberikan "dispensasi" terhadap perilakunya itu.

Si perempuan itu tampaknya juga menyadari betul, bahwa orang-orang yang pantas pula dianggap pelacur, sesungguhnya bukan hanya dirinya atau teman-teman seprofesinya. Melainkan siapapun dan dari status sosial apapun, mereka bisa saja disebut pelacur dan layak dianggap orang yang telah hilang kehormatan dirinya. Apalagi bagi orang-orang yang hidupnya berorientasi demi kekayaan dan kekuasaan semacam tadi.

Katanya:

"Bukankah perbuatan-perbuatan tersebut jelas-jelas telah ‘menjual kebenaran: kejujuran dan keadilan' yang merupakan nilai-nilai dasar dari kehormatan?"

"Bukankah mereka yang tidak lagi mengindahkan nilai-nilai ‘kehormatan' dalam sikap dan perilakunya pantas dianggap sebagai orang yang telah "hilang kehormatan" dirinya?"

"Bukankah dengan demikian mereka juga bisa dianggap pelacur?"

Seperti itulah luapan ketidakadilan yang dirasakan si perempuan pelacur tadi.

***

Kalau kita melihat realitas sosial yang lebih luas, ketidakadilan seperti itu ternyata memunculkan ketidakadilan lainnya. Sebab para penegak hukum pun kemudian hanya gencar "menertibkan" para pelacur (PSK) tadi. Sementara orang-orang yang mengeksploitasi nafsu ambisi dan keserakahan (terutama) yang berada di kursi pemerintahan, seringkali tidak tersentuh. Padahal, berdasarkan pemahaman di atas, mereka juga adalah para pelacur.

Mungkinkah hal ini terjadi karena para penegak hukum pun sudah banyak yang menjadi "pelacur" seperti mereka ?

Akibat dari "kepelacuran" para pejabat dan penegak hukum, negara ini kemudian mengalami krisis ekonomi dan kepercayaan. Di samping itu, krisis ini pada gilirannya juga menyebabkan banyak orang untuk melacurkan diri. Baik melacur dengan cara "menjual nilai-nilai kebenaran" (kejujuran, keadilan), maupun melacur dengan cara "menjual tubuhnya". Sementara para pelacur yang menjual hukum maupun jabatan-kedudukan, nampaknya banyak yang tidak menyadari, bahwa sikap dan perilaku kotor mereka seolah merupakan suatu rangkaian kata-kata yang bermakna: "Mari sama-sama melacurkan diri."

Selain itu, kalau berbicara, biasanya para pelacur tersebut berbicara layaknya orang-orang suci dan terhormat: bicara tentang kebenaran (kejujuran dan keadilan). Mereka seperti tidak memiliki rasa malu dengan menyebut para perempuan pelacur (PSK) sebagai sampah kotor yang hina dina, sampah masyarakat yang harus dibersihkan. Padahal mereka juga - semoga kita tidak termasuk - sama kotornya dalam pandangan moral sehingga layak disebut sampah masyarakat-negara yang harus segera dienyahkan.

Kalau berbicara tentang kejujuran, barangkali, seorang perempuan pelacur (PSK) bisa lebih jujur mengenai dirinya.

Kejujuran dari seorang pelacur karena dia menyadari dan mengakui kepelacurannya, serta sadar dengan kehinadinaan dirinya. Keadilan para pelacur, karena mereka pun rela menerima cercaan dari masyarakat. Sebab, istilah "pelacur" yang sudah melekat pada diri mereka, secara moral kultural adalah identifikasi dari manusia hina yang layak mendapat cercaan.

Sedangkan para pelacur yang menjual kebenaran (kejujuran, keadilan) namun merasa suci dan terhormat dengan kedudukannya, dengan tingginya status sosial yang disandangnya, rasanya tidak akan sejujur atau seadil para perempuan pelacur dalam menilai dirinya di hadapan masyarakat.

Mereka, para pelaku korupsi, kolusi, manipulasi yang cenderung mengekploitasi ambisi dengan memanfaatkan kedudukan dan tingginya status sosialnya itu, biasanya berupaya untuk tidak mengakui kekoruptorannya, kekolutorannya, kemanipulatorannya dan kekotoran lainnya. Apalagi untuk mengakui kepelacurannya dan rela disebut si pelacur.

Seandainya para perempuan pelacur (PSK) tadi seringkali terlihat tertawa-tawa, menurut perempuan pelacur tadi, sesungguhnya seringkali di hatinya merasa pilu, sedih, dengan hidup yang dialaminya. Sedangkan tertawanya koruptor, kolutor, manipulator, didasari rasa senang dan kepuasan hati meskipun berada di atas penderitaan dan ketidakpuasan orang banyak.

Seandainya para perempuan pelacur harus ditertibkan, sudah semestinya para pelacur yang berada dibalik kedudukan dan terpandangnya status sosial (termasuk di kursi pemerintahan) yang lebih dahulu ditertibkan. Ibarat membersihkan rumah, maka bagian ataslah yang seharusnya dibersihkan terlebih dahulu.

Kenyataannya, para perempuan pelacur harus "puas" dengan ketidakpuasannya. Sebab masyarakat pun umumnya sudah terlanjur menganggap mereka sebagai manusia hina, kotor, dan menjijikan. Perbuatan mereka seakan dianggap lebih buruk dengan perbuatan lain: menjual kebenaran (kejujuran, keadilan) termasuk yang dilakukan para pejabat atau penegak hukumnya. Padahal, berdasarkan pengertian filosofis dari makna pelacur tadi, bisa-bisa, kita pun termasuk dalam kategori yang disebut pelacur - walaupun pelacur kelas rendahan, misalnya. Namun, pelacur adalah pelacur. Apapun tingkatan atau kelasnya, sama-sama hinanya dalam pandangan nilai-nilai luhur kehormatan diri. Karena itulah, alangkah bijaksananya jika kita senantiasa instrospeksi dan berhati-hati agar sikap dan perilaku kita tidak menjurus pada tindakan "melacurkan diri."

Tidak ada komentar: