Selasa, 29 Juli 2008

Qurban: Antara Ketaatan dan Cinta

Sopian Muhammad


Sudah seringkali Idul Adha kita lewati. Hari raya yang juga biasa disebut dengan Hari Qurban ini, seakan tidak pernah berhenti mengingatkan kita untuk berqurban. Berqurban tidak hanya dalam pengertian ritualitas tahunan (menyembelih hewan tertentu), tetapi “berqurban” pada makna yang lebih luas dan mendalam. Yaitu “mengurbankan” sesuatu yang kita cintai demi ketaatan dan cinta terhadap-Nya.

Sebagaimana yang dicontohkan Nabi Ibrahim, beliau rela mengurbankan seseorang yang sangat dicintainya, yaitu putranya sendiri Ismail, untuk dia sembelih karena Tuhan memerintahkan demikian. Kata Ismail sebagaimana termaktub dalam Al Qur’an :

“Wahai ayah, laksanakanlah perintah Allah. Insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” (Ash Shaffat : 102)

Sesungguhnya peristiwa itu merupakan ujian untuk mengukur sampai sejauhmana ketaatan sekaligus kecintaan Ibrahim terhadap Rabbnya dibandingkan cinta terhadap putranya sendiri. Sebab, tatkala Ibrahim mengayunkan pedangnya untuk menyembelih anaknya itu, dengan kuasa-Nya, ternyata Allah menggantikannya dengan seekor domba.

Tanpa pengujian seperti itu pun sesungguhnya Tuhan sudah mengetahui bahwa kecintaan dan ketaatan Ibrahim terhadap pencipta-Nya di atas segalanya. Namun, Tuhan sengaja menetapkan peristiwa ini dan mengabadikannya dalam Al Qur’an sebagai suatu ibrah bagi umat-umat sesudahnya untuk senantiasa menjunjung tinggi ketaatan kepada Allah dan menempatkan cinta terhadap-Nya di atas tempat tertinggi. Sebab makna “qurban” dalam pengertian inilah yang menjadi dasar dari ketaqwaan.

Allah berfirman :
“Tidak sampai kepada Allah daging dan darahnya (hewan qurban). Tetapi yang sampai kepada-Nya hanyalah ketaqwaan (Al Hajj : 37).

Qurban dan Ketaatan
Untuk mentaati perintah Tuhan, manusia memang harus “berqurban”. Berqurban bukan hanya dalam pengertian menyembelih hewan tertentu (bagi yang mampu) dan membagikan dagingnya kepada yang berhak, melainkan “berqurban” dalam pengertian yang lebih luas dan mendalam seperti yang telah disebutkan. Sebab bagaimana mungkin kita bisa mentaati segala perintah Tuhan jika kita sendiri tidak mau “berqurban” demi Dia. Yaitu “berqurban” menundukkan hawa nafsu atau “mengurbankan” sifat maupun segala sesuatu yang dapat membuat kita mengabaikan atau mengingkari segala apa yang diperintahkan-Nya.

Hawa nafsu membuat manusia enggan untuk taat kepada Allah. Oleh karena itu dengan segenap jiwa dan raga, kita harus “berqurban” untuk menundukkan hawa nafsu ini. Sebab hawa nafsu menjadikan manusia sombong dengan harta kekayaan yang dimilikinya dan dia menjadi kikir karena tidak mau bersedekah dan memberikan sebagian harta kepada yang berhak.

Hawa nafsu juga dapat membuat manusia sewenang-wenang dengan kedudukan atau jabatan yang didudukinya sehingga dia menindas, memeras, serta melakukan berbagai bentuk kesewenang-wenangan lainnya. Selain itu hawa nafsu pun melahirkan sifat dan sikap ingin dipuji, dengki dan iri hari, senang berbuat culas, serta segala sifat dan sikap tercela lainnya.

Disinilah pentingnya manusia untuk “berqurban”, yaitu menundukkan semua sifat dan sikap yang bermuara dari hawa nafsu tadi dengan cara senantiasa mendekatkan diri pada Allah (zuhud), serta saling menyayangi dan rendah hati terhadap sesama (tawadlu). Dengan demikian, makna “qurban” dalam konteks ini tidak saja memiliki dimensi ibadah langsung kepada Allah (habluminallah), tetapi juga berdimensi kemanusiaan/sosial (habluminannas). Inilah wujud dari “qurban” dan hubungannya dengan ketaatan terhadap perintah Allah.

Tiada ketaatan terhadap perintah-Nya apabila kita sendiri tidak mau dan tidak mampu “berqurban”. Maka dari itu mari kita “berqurban” demi ketaatan terhadap perintah-perintah-Nya

“Hanya kepada Engkaulah kami taat beribadah, dan hanya kepada Engkau pula kami memohon pertolongan.” (Al Fatihah : 5)

Qurban dan Cinta
Tiada cinta tanpa “pengurbanan”. Begitu pula cinta terhadap Allah. Cinta terhadap Allah sejatinya ditempatkan dalam posisi tertinggi nan agung. Dengan demikian, kecintaan terhadap diri sendiri, kecintaan terhadap harta kekayaan, jabatan atau kedudukan, serta kecintaan terhadap segala sesuatu selain Allah, harus jauh berada di bawah kecintaan terhadap-Nya.

Seandainya manusia hanya mencintai diri sendiri, maka tiada ruang di lubuk hatinya untuk (mencintai) Allah. Apabila manusia mencintai harta benda, maka tiada tempat di dalam dada untuk bisa mencintai-Nya. Jika manusia mencintai kedudukan atau jabatan, maka cinta kepada Allah akan selalu terabaikan. Begitulah bila manusia terlalu mencintai segala sesuatu selain Dia, tiada kesempatan baginya untuk dapat mencintai-Nya. Pun untuk mencintai sesamanya. Padahal manusia seperti itu adalah manusia yang “buta” dan “tuli”.

Rasulullah dalam salah satu haditsnya bersabda :
“Rasa cintamu pada sesuatu, membuatmu buta dan tuli.”

“Buta” yang dimaksud dalam hadits di atas yaitu buta dalam melihat hakekat kebenaran. Sedangkan “tuli” dalam pengertian ini yakni ketidakpekaan manusia dalam mendengarkan petunjuk-petunjuk Tuhan. Padahal kemampuan melihat kebenaran dan kepekaan pendengaran dalam mengikuti segala petunjuk-Nya adalah dasar untuk bisa mencintai-Nya.

Di dunia ini kita mudah sekali terpesona dan mencintai segala sesuatu yang dilihat dan didengar. Bahkan kita pun seringkali “berqurban” demi mendapatkannya. Namun, pernahkah kita introspeksi, merenungi, sejauhmana “pengurbanan” kita untuk mencintai dan mendapatkan cinta-Nya ?

Kiranya, inilah pertanyaan terpenting yang senantiasa harus menjadi renungan dalam memperingati Hari Raya Qurban ini.

Tidak ada komentar: