Selasa, 29 Juli 2008

Mati Bersama Cinta

Sopian Muhammad


“Cintaaa..... itu putih.....itu murni..... itu suci.....”
Kira-kira, seperti itulah “Kuil Cinta”-nya Slank. Tapi cinta seperti apakah yang putih, murni, dan suci itu? Atau, cinta kepada siapakah cinta yang putih, murni, dan suci itu? Sebelum menjawabnya, mari sejenak kita renungkan pemahaman cinta berikut ini:

Cinta, bisa membuat manusia menjadi mulia, atau malah menjadikan dirinya hina. Dengan demikian, mulia atau hinanya seseorang tergantung dari apa yang dicintainya.

Cinta yang menjerumuskan manusia hingga terhempas ke dalam lembah kehina-dinaan adalah: cinta yang terpedaya oleh segala pesona dan kenikmatan duniawi. Baik cinta (yang berlebihan) terhadap harta, tahta (kedudukan), bahkan wanita atau pria.

Sejarah mengabadikan: betapa hinanya Qarun, karena kecintaan pada hartanya yang berlimpah ruah. Betapa hinanya Fir’aun, akibat kecintaannya pada kedudukan. Dan, betapa hinanya Majnun, lantaran kecintaannya pada Laila.

Pada dasarnya, setiap orang memang membutuhkan harta untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kedudukan, diperlukan agar seorang menjadi lebih “berdaya” bagi manusia lainnya. Setiap individu, juga berhak mencintai dan dicintai pasangannya agar kebutuhan biologisnya terpenuhi dan sebagai pelanjut keturunan.

Tidak ada yang salah dengan semua itu, manusiawi. Yang jadi masalah adalah: ketika kecintaan terhadap harta, kedudukan, dan pasangan hidup, jauh melebihi kecintaan kepada Allah: Tuhan yang telah menciptakan diri kita dan alam ini.

Tiada yang salah dengan kebutuhan manusia terhadap kesenangan dunawi, selama tidak bertentangan dengan syariat, dan hati tetap tunduk pada ketetapan Illahi. Jadi, tetapkan Allah sebagai cinta sejati. Itulah cinta yang membuat manusia menjadi mulia. Itulah sesungguhnya cinta yang putih, murni, dan suci itu.

Ketika manusia menjadikan Allah sebagai Kekasih Sejati, maka Allah senantiasa berada di posisi tertinggi, dibandingkan dengan jabatan yang paling tinggi sekalipun.

Sebagai Kekasih Sejati, nama-Nya senantiasa terpatri dalam sanubari. Sedangkan, rasa rindu untuk senantiasa dekat dengan-Nya, diwujudkan melalui zikir dan kegembiraan dalam melakukan berbagai kegiatan ibadah.

Sungguh! Orang yang paling bahagia adalah: yang menjadikan tujuan utama hidupnya mencintai Allah Swt.

Yakinilah! Cinta kepada Allah, tidak mungkin bertepuk sebelah tangan. Cinta kepada-Nya, mustahil dikhianati. Cinta kepada Allah, pasti terbalaskan dengan curahan cinta yang tiada tara. Sebab: “Dia mencintai mereka dan mereka mencintai Allah.” (Al-Maidah : 54).

Demikianlah.

Jika Fir’aun mati karena cintanya kepada kedudukan, Qarun mati karena cintanya kepada harta benda, Majnun mati karena cintanya pada Laila, lalu, bagaimana dengan matinya kita kelak? Cinta apa yang kita bawa sampai mati?

Semoga, kita tergolong seperti Hamzah, Ja’far, Hanzhallah yang mati karena cintanya kepada Allah. Itulah mati yang membawa kemuliaan. Jadi, persiapkan diri menjadi hamba yang mati membawa cinta kepada Allah Azza wa Jalla.

Tidak ada komentar: