Kamis, 16 Juni 2011

Mewaspadai Diri Sendiri

Sopian Muhammad

Di antara kita sering mendengar bahkan mengucapkan kata “nafsu”. Istilah ini melekat dengan perwujudan sikap dan perbuatan yang berkonotasi negatif. Ketika seseorang, misalnya; mabuk-mabukan, berzina, mencuri, membunuh, memfitnah, menggibah, meluapkan amarah secara tak terkendali, serta menunjukkan perilaku tercela lainnya, dirinya dikatakan tidak mampu menahan nafsu.
Menurut para ulama, dalam bahasa Arab, perkataan “nafsu” (nafs) mempunyai banyak arti, diantaranya “jiwa” dan “diri manusia”. Selain itu, menurut Al-Qur’an, kata nafs memiliki keragaman makna. Namun, dalam konteks pembicaraan tentang manusia, nafs menunjuk pada sisi dalam diri manusia yang berpotensi baik dan buruk (Mubarok, 2000 : 30). Munculnya potensi ini karena nafs mengarahkan manusia untuk bersikap dan bertingkahlaku tertentu.
Nafsu merupakan bagian yang menyatu dalam diri manusia. Keberadaannya sangat menentukan kualitas akhlak atau tinggi/rendahnya kualitas pribadi seseorang. Semua ini bisa terjadi karena selain mestimuli potensi yang baik, nafsu pun mendorong seseorang bersikap dan berperilaku sia-sia, tercela, rendah, atau hina, sesuai dengan jenis atau tingkatan nafsu.
Dalam Islam, Pemahaman mengenai “nafsu”, tidak selalu berkonotasi buruk. Sebagaimana diungkapkan para ulama, secara eksplisit Al-Qur’an menyebut tiga jenis nafs. Ketiga jenis nafs tersebut merupakan tingkatan kualitas dari yang tertinggi hingga yang terendah, yaitu: 1) al-nafs al-muthma’innah, 2) al-nafs al-lawwamah, 3) al-nafs al-ammarah bi al-su’.
Pertama, al-nafs al-muthma’innah yaitu nafsu yang berada pada tingkatan tertinggi. Nafsu ini disebut sebagai “jiwa yang tenang”, yang senantiasa mendorong pada keingingan berbuat baik seperti yang diperintahkan oleh Allah Swt (QS. Al - Fajr : 27-28). “Jiwa yang tenang” itu ditandai dengan: a) memiliki keyakinan yang tak tergoyahkan terhadap kebenaran (QS. An-Nahl : 106), b) memiliki rasa aman, terbebas dari rasa takut dan sedih di dunia (QS. Al-Nia : 103) dan terutama di akhirat (QS. QS. Fushilat : 30), c) hatinya tenteram karena selalu ingat kepada Allah (QS. Ar-Rad : 28).
Kedua, al-nafs al-lawwamah adalah nafs yang mencela diri. Nafsu ini termasuk pula yang baik karena ia mendorong tumbuhnya penyesalan dan kesadaran atas segala kesalahan dan kekhilafan (QS. Al-Qiyamah : 1-2).
Ketiga, al-nafs al-ammarah bi al-su’ merupakan nafsu yang rendah karena selalu mendorong manusia untuk bersikap dan berperilaku buruk (QS. Yusuf : 53).
Berdasarkan ketiga pemahaman mengenai makna nafs di atas, maka nafsu yang harus senantiasa diwaspadai dalam diri setiap manusia adalah al-nafs al-ammarah bi al-su, yakni nafsu yang membuat manusia cenderung berperilaku tercela. Dorongan dari jenis nafsu inilah yang menjadi pokok perhatian dalam pembahasan ini sehingga keberadaan atau potensinya harus diwaspadai setiap orang.
Dalam pandangan manusia yang condong mengikuti nafsu destruktifnya itu, beragam perbuatan sia-sia, tercela, rendah atau hina, dianggap lumrah dilakukan. Celakanya lagi, nafsu ini sering mengiming-imingi jalan pintas, kemudahan, kesenangan dan kenikmatan duniawi melalui beragam perbuatan yang dilarang agama.
Di samping itu, banyak sekali perwujudan lain dari keinginan nafsu rendah tersebut. Termasuk diantaranya pesimis, bermalas-malasan, curang, putus asa, dan sikap atau perilaku lain yang melemahkan diri serta merendahkan kualitas pribadi dan kehidupannya. Padahal, dalam kehidupan dunia saja, orang yang memperturutkan beragam keinginan nafsu destruktif seperti itu, hidupnya pasti berada dalam ketertinggalan, kemunduran, penderitaan, bahkan kebinasaan.
“Maka sekali-kali janganlah kamu dipalingkan dari¬pada¬nya oleh orang yang tidak beriman kepadanya dan oleh orang yang mengikuti hawa nafsunya, yang menyebabkan ka¬mu jadi binasa.” (QS. Thaahaa : 16)
Begitu dahsyatnya rangsangan al-nafs al-ammarah bi al-su’, orang acapkali tidak menyadari kalau kehidupannya cenderung dikendalikan oleh nafsu jenis ini. Nafsu tersebut memang borpotensi mampu memperdayai kehidupan manusia.
“… Ya’qub berkata, ‘Sebenarnya nafs-mu itulah yang memandang baik perbuatan (buruk) itu…” (QS. Yusuf : 18).
Seorang bijak berkata, “Barangsiapa dikuasai nafsunya, ia menjadi tawanan di dalam mencintai nafsu dan ter¬penjara di dalam penjara hawa nafsu. Qalbunya tercegah dari memperoleh hikmah. Barangsiapa menyirami anggota tubuh¬nya dengan syahwat, ia telah menanam pohon penyesalan di da¬lam qalbunya.”
Seorang ulama mengungkapkan, “Jika nafsu telah berhasil mengalahkan akal sehat, maka ia akan diselimuti awan kegelapan, lalu hati pun menjadi buta. Ia akan menjadi setia mengikuti jalan kemungkaran, dan akhirnya jatuh ke jurang kehinaan.''
Waspadailah gejolak nafsu yang merusak diri. Melalui berbagai cara, nafsu ini selalu berusaha memperdayai manusia agar menjauhi nilai-nilai luhur Islam, bahkan menyesatkannya, sesesat-sesatnya. Di antara cara-cara tersebut adalah dengan “menyusup” ke hati, akal (pikiran), menstimuli penglihatan, pendengaran, tangan serta kaki, perut, dan kemaluan untuk menyukai atau melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh ajaran agama (Islam). Mengacu pada akibat-akibat yang ditimbulkannya itu, maka – dalam hal ini – keberadaan hati (qalbu), akal (pikiran), mulut (lisan), penglihatan (mata), pendengaran (telinga), tangan dan kaki, (keinginan) perut serta kemaluan, juga mesti dijaga. Melalui merekalah, keinginan-keinginan nafsu yang rendah dan hina ini bisa terwujud.

Tidak ada komentar: