Jumat, 21 November 2008

Becerminlah Sepanjang Hari


Sopian Muhammad




Pada saat tertentu orang tidak pernah lupa becermin. Entah saat berpakaian, menyisir rambut, saat merapikan kumis bagi para prianya, memakai lipstick bagi para wanitanya, atau sekedar untuk mengetahui berapa jumlah jerawat yang tumbuh di wajahnya.

Lebih dari itu, dengan becermin banyak wanita atau pria merasa bangga karena melihat kecantikan atau ketampanan wajahnya atau keseksian dan kemachoan tubuhnya. Dengan becermin, tidak sedikit pula orang merasa kecewa saat memperhatikan wajahnya yang dianggap jelek maupun karena tubuhnya yang kelewat gemuk, terlalu kurus, atau kependekan.

Meskipun cermin bersikap “jujur” dalam hal tersebut, namun dibalik kejujurannya sesungguhnya cermin itu dapat “menipu” - lebih tepatnya cermin itu membuat orang sering “tertipu”. Mereka yang “tertipu” adalah yang merasa “bangga” atau “kecewa” hanya karena melihat dirinya seperti yang diproyeksikan cermin. Sebab cermin hanya mampu memperlihatkan diri seseorang secara fisik semata: kulitnya saja, wajahnya saja, tubuhnya sajat. Itu saja.

“Ketertipuan” tersebut semakin jelas manakala orang-orang yang merasa “bangga” atau “kecewa” dengan fisiknya tadi, menganggap bahwa “nilai dirinya” terletak dari fisiknya itu. Bagi yang “bangga” dengan fisiknya, mereka menganggap dirinya memiliki “nilai lebih”. Sedangkan bagi yang “kecewa” dengan fisiknya, merasa dirinya memiliki “nilai kurang”. Padahal “nilai” seorang manusia tentu bukan terletak pada fisiknya. Melainkan pada jiwa atau ruhaninya.

Becermin pada kaca memang terlalu dangkal dan takkan bisa memperlihatkan eksistensi atau hakikat keberadaan seorang manusia. Karena itulah manusia perlu becermin dibalik adanya berbagai fenomena alam karena Tuhan pun mengajarkan demikian.

Becermin Pada Malam
Kehadiran bulan dengan cahayanya dan bintang dengan kerlap kerlipnya, memang menjadikan malam terlihat “indah”. Namun, “keindahan sejati” sang malam, bukan terletak pada ada tidaknya bulan dan bintang dalam menghiasi diri sang malam. Melainkan “keindahan sejati” itu bermuara pada “penyadaran terhadap hakekat dirinya sebagai malam”. Sang malam, seakan menyadari, bahwa cahaya bulan dan kerlap kerlip bintang yang menghiasi – memperindah wajah malam, adalah fana bagi sang malam. Bahkan sesungguhnya, tanpa keberadaan sang malam, keindahan bulan dan bintang tidak terlihat.

Keberadaan cahaya bulan dan bintang adalah “kecantikan fana” bagi sang malam. “Kecantikan abadi” sang malam terletak pada penyadaran terhadap hakekat keberadaan dirinya tadi. Sebab sang malam pada dasarnya tidak membutuhkan apalagi harus merasa bangga dengan kehadiran bulan dan bintang. Kalaupun bulan dan bintang hadir, itu hanya karena kehendak alam yang harus ia terima. Sebaliknya, tanpa kehadiran bulan dan bintang, sang malam pun takkan kecewa. Semua itu sama sekali tidak mengurangi kesadaran sang malam terhadap hakekat keberadaan dirinya.

Seandainya manusia mampu becermin pada fenomena sang malam, maka akan tumbuh kesadaran bahwa penampilan atau kecantikan/ketampanan adalah fana belaka. Sedangkan “kecantikan/ketampanan abadi” terletak pada “penyadaran terhadap hakekat diri”.

Becermin Pada Embun
Malam boleh berganti menjadi pagi. Namun instrospeksi diri dengan becermin pada fenomena alam jangan pernah berhenti.

Sekalipun aktivitas manusia kembali terjadi di atmosfer sosiokultural yang sudah tercemar oleh pengaruh globalisasi yang seringkali mendistorsi “nilai” atau “kesejatian” manusianya, bukan berarti manusia terdispensasi dari kewajibannya untuk tetap menjaga “nilai” atau “kesejatian” dirinya.

Terkait dengan konteks ini, kiranya fenomena embun di pagi hari bisa menjadi renungan untuk “becermin” sebelum kita memulai berbagai aktivitas mengarungi hari. Sebab di pagi hari, dapat kita amati embun-embun yang tetap bening sekalipun mereka menggelayuti ujung daun rerumputan di pinggiran jalan yang sarat dengan berbagai debu dan kotoran. Begitulah sang embun. Dia tetap mampu menjaga “nilai” atau “kesejatiannya”: - kebeningan dan kesuciannya - walaupun lingkungannya dipenuhi berbagai debu atau kotoran tadi.

Becermin Pada Siang
Pagi berangsur-angsur menjadi siang. Embun boleh lenyap karenanya. Tetapi sepanjang hari, kita masih tetap bisa becermin pada alam. Becermin pada siang.
Siang menyadari, bahwa keberadaan dirinya karena kehadiran cahaya matahari. Sebab tanpa cahayanya, mustahil dirinya ada.

Siang terkadang cerah. Namun cerahnya siang bukanlah ekspresi yang menunjukkan bahwa siang begitu bangga menyambut sinar mentari. Siang juga terkadang mendung. Tetapi mendungnya siang bukan pula luapan dari ketidakpuasan siang dalam menyambut sinar mentari.

Siang memang tidak pantas untuk merasa bangga atau kecewa dengan kehadiran sang mentari. Siang menerima kehadiran mentari dengan apa adanya dan penuh keikhlasan. Karena siang menyadari benar, bahwa keberadaan dirinya sekali lagi karena kehadiran sang mentari. Seperti halnya Tuhan sebagai “Sang Mentari”-nya manusia.

Tidak ada komentar: