Kamis, 11 Agustus 2016

Nantikan kehadirannya. Sebuah buku yang sangat penting bagi dunia kehumasan pada umumnya , dan dunia kepenulisan pada khususnya. PUBLIC RELATIONS  WRITING.


Kamis, 16 Juni 2011

Mewaspadai Diri Sendiri

Sopian Muhammad

Di antara kita sering mendengar bahkan mengucapkan kata “nafsu”. Istilah ini melekat dengan perwujudan sikap dan perbuatan yang berkonotasi negatif. Ketika seseorang, misalnya; mabuk-mabukan, berzina, mencuri, membunuh, memfitnah, menggibah, meluapkan amarah secara tak terkendali, serta menunjukkan perilaku tercela lainnya, dirinya dikatakan tidak mampu menahan nafsu.
Menurut para ulama, dalam bahasa Arab, perkataan “nafsu” (nafs) mempunyai banyak arti, diantaranya “jiwa” dan “diri manusia”. Selain itu, menurut Al-Qur’an, kata nafs memiliki keragaman makna. Namun, dalam konteks pembicaraan tentang manusia, nafs menunjuk pada sisi dalam diri manusia yang berpotensi baik dan buruk (Mubarok, 2000 : 30). Munculnya potensi ini karena nafs mengarahkan manusia untuk bersikap dan bertingkahlaku tertentu.
Nafsu merupakan bagian yang menyatu dalam diri manusia. Keberadaannya sangat menentukan kualitas akhlak atau tinggi/rendahnya kualitas pribadi seseorang. Semua ini bisa terjadi karena selain mestimuli potensi yang baik, nafsu pun mendorong seseorang bersikap dan berperilaku sia-sia, tercela, rendah, atau hina, sesuai dengan jenis atau tingkatan nafsu.
Dalam Islam, Pemahaman mengenai “nafsu”, tidak selalu berkonotasi buruk. Sebagaimana diungkapkan para ulama, secara eksplisit Al-Qur’an menyebut tiga jenis nafs. Ketiga jenis nafs tersebut merupakan tingkatan kualitas dari yang tertinggi hingga yang terendah, yaitu: 1) al-nafs al-muthma’innah, 2) al-nafs al-lawwamah, 3) al-nafs al-ammarah bi al-su’.
Pertama, al-nafs al-muthma’innah yaitu nafsu yang berada pada tingkatan tertinggi. Nafsu ini disebut sebagai “jiwa yang tenang”, yang senantiasa mendorong pada keingingan berbuat baik seperti yang diperintahkan oleh Allah Swt (QS. Al - Fajr : 27-28). “Jiwa yang tenang” itu ditandai dengan: a) memiliki keyakinan yang tak tergoyahkan terhadap kebenaran (QS. An-Nahl : 106), b) memiliki rasa aman, terbebas dari rasa takut dan sedih di dunia (QS. Al-Nia : 103) dan terutama di akhirat (QS. QS. Fushilat : 30), c) hatinya tenteram karena selalu ingat kepada Allah (QS. Ar-Rad : 28).
Kedua, al-nafs al-lawwamah adalah nafs yang mencela diri. Nafsu ini termasuk pula yang baik karena ia mendorong tumbuhnya penyesalan dan kesadaran atas segala kesalahan dan kekhilafan (QS. Al-Qiyamah : 1-2).
Ketiga, al-nafs al-ammarah bi al-su’ merupakan nafsu yang rendah karena selalu mendorong manusia untuk bersikap dan berperilaku buruk (QS. Yusuf : 53).
Berdasarkan ketiga pemahaman mengenai makna nafs di atas, maka nafsu yang harus senantiasa diwaspadai dalam diri setiap manusia adalah al-nafs al-ammarah bi al-su, yakni nafsu yang membuat manusia cenderung berperilaku tercela. Dorongan dari jenis nafsu inilah yang menjadi pokok perhatian dalam pembahasan ini sehingga keberadaan atau potensinya harus diwaspadai setiap orang.
Dalam pandangan manusia yang condong mengikuti nafsu destruktifnya itu, beragam perbuatan sia-sia, tercela, rendah atau hina, dianggap lumrah dilakukan. Celakanya lagi, nafsu ini sering mengiming-imingi jalan pintas, kemudahan, kesenangan dan kenikmatan duniawi melalui beragam perbuatan yang dilarang agama.
Di samping itu, banyak sekali perwujudan lain dari keinginan nafsu rendah tersebut. Termasuk diantaranya pesimis, bermalas-malasan, curang, putus asa, dan sikap atau perilaku lain yang melemahkan diri serta merendahkan kualitas pribadi dan kehidupannya. Padahal, dalam kehidupan dunia saja, orang yang memperturutkan beragam keinginan nafsu destruktif seperti itu, hidupnya pasti berada dalam ketertinggalan, kemunduran, penderitaan, bahkan kebinasaan.
“Maka sekali-kali janganlah kamu dipalingkan dari¬pada¬nya oleh orang yang tidak beriman kepadanya dan oleh orang yang mengikuti hawa nafsunya, yang menyebabkan ka¬mu jadi binasa.” (QS. Thaahaa : 16)
Begitu dahsyatnya rangsangan al-nafs al-ammarah bi al-su’, orang acapkali tidak menyadari kalau kehidupannya cenderung dikendalikan oleh nafsu jenis ini. Nafsu tersebut memang borpotensi mampu memperdayai kehidupan manusia.
“… Ya’qub berkata, ‘Sebenarnya nafs-mu itulah yang memandang baik perbuatan (buruk) itu…” (QS. Yusuf : 18).
Seorang bijak berkata, “Barangsiapa dikuasai nafsunya, ia menjadi tawanan di dalam mencintai nafsu dan ter¬penjara di dalam penjara hawa nafsu. Qalbunya tercegah dari memperoleh hikmah. Barangsiapa menyirami anggota tubuh¬nya dengan syahwat, ia telah menanam pohon penyesalan di da¬lam qalbunya.”
Seorang ulama mengungkapkan, “Jika nafsu telah berhasil mengalahkan akal sehat, maka ia akan diselimuti awan kegelapan, lalu hati pun menjadi buta. Ia akan menjadi setia mengikuti jalan kemungkaran, dan akhirnya jatuh ke jurang kehinaan.''
Waspadailah gejolak nafsu yang merusak diri. Melalui berbagai cara, nafsu ini selalu berusaha memperdayai manusia agar menjauhi nilai-nilai luhur Islam, bahkan menyesatkannya, sesesat-sesatnya. Di antara cara-cara tersebut adalah dengan “menyusup” ke hati, akal (pikiran), menstimuli penglihatan, pendengaran, tangan serta kaki, perut, dan kemaluan untuk menyukai atau melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh ajaran agama (Islam). Mengacu pada akibat-akibat yang ditimbulkannya itu, maka – dalam hal ini – keberadaan hati (qalbu), akal (pikiran), mulut (lisan), penglihatan (mata), pendengaran (telinga), tangan dan kaki, (keinginan) perut serta kemaluan, juga mesti dijaga. Melalui merekalah, keinginan-keinginan nafsu yang rendah dan hina ini bisa terwujud.

Manajemen Cinta (Ala) Nabi Saw: Solusi Mengatasi Krisis Kasih Sayang & Strategi Meraih Kesuksesan dan Kebahagiaan





Sopian Muhammad


Krisis cinta dan kasih sayang yang mewarnai relasi antarumat Islam dalam berbagai segi dan bidang kehidupan, seolah menunjukkan bahwa Islam bukan agama yang mengajarkan pentingnya menyintai dan mengasihi sesama. Umat Islam pun seakan tidak memiliki figur sentral yang mampu meneladankan ketulusan untuk saling menyintai, mengasihi serta menyayangi. Akibatnya, di antara mereka, muncullah perasaan saling curiga, iri, pengkhianatan, saling merendahkan, memfitnah, menggibah, mendengki, mendendam, bertikai, mendzalimi, menindas, bahkan saling mencelakakan.
Munculnya gejala krisis cinta dan kasih sayang yang melanda kehidupan banyak kaum muslimin, kerap terjadi di mana-mana. Dari mulai di ruang keluarga, hingga di tempat-tempat kerja. Tidak terkecuali, di institusi-institusi yang mengusung label Islam, gejala krisis kasih sayang juga sering mewarnai hubungan antarpersonilnya. Sungguh ironi dan menyedihkan. Bagaimana mungkin ukhuwah islamiyah yang kerap digembar-gemborkan itu bisa terwujud secara solid dan kokoh, jika krisis ini tetap terjadi seaolah tiada henti. Padahal Rasulullah Saw, pecinta agung yang mulia menegaskan:
“Demi zat yang jiwaku ada dalam genggaman-Nya, kamu sekalian tidak akan masuk surga sebelum beriman, dan kamu sekalian tidaklah beriman sebelum saling mencintai” (HR. Muslim)

Lemahnya Peneladanan Terhadap Nabi Saw
Menggejalanya krisis cinta dan kasih sayang di kalangan komunitas umat Islam, tentunya bukan dikarenakan ajaran yang terkandung dalam agama yang dianutnya, dan bukan pula ketiadaan model yang patut dijadikan panutan. Persoalannya adalah lemahnya pengamalan terhadap Islam, serta “ketidakmauan” umat untuk betul-betul meneladani sang pecinta agung yang mulia, Nabi Muhammad Saw. Utamanya dalam konteks ini adalah keteladanan dalam menyintai, mengasihi, dan/atau menyayangi sesama.
Allah Swt mengutus Nabi Muhammad Saw sebagai figur manusia terbaik. Beliau telah membuktikan kemampuannya dalam membawa manusia dari keterbelakangan pemikiran dan kerendahan akhlak menuju pencerahan dan kemuliaan. Dari kehidupan yang diselimuti kebencian, dendam, dan angkara murka, menuju kehidupan yang diberkahi dengan memaafkan, cinta dan kasih sayang.
“Dan tidaklah Kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS. Al-Anbiya : 107).
Ada yang mengartikan bahwa “rahmat” di sini adalah pencurah kasih sayang. Diutusnya Nabi merupakan bentuk kasih sayang Allah kepada seluruh manusia. Rasulullah adalah manusia yang menebarkan kasih sayang.
“Siapa yang tidak sayang pada manusia, maka tidak akan disayang oleh Allah.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Baihaqi, dan Bukhari)

Manajemen Cinta = Upaya Meraih Kesuksesan & Kebahagiaan
Dalam semua dimensi kehidupan, Nabi Muhammad Saw secara cukup gamblang telah menyontohkan bagaimana seharusnya kita sebagai umatnya, bersikap dan berperilaku agar rahmat dan keberkahan hidup menyertai. Dari mulai ketika menjalani kehidupan dalam ranah keluarga dan kekerabatan, hubungan antara “tuan” dengan “pembantu”, atasan dengan bawahan, antarrekan (mitra) kerja atau bisnis, kehidupan bertetangga, persahabatan, dalam relasi sosial dengan non-muslim, sebagai pemimpin dakwah, militer, maupun sebagai pemimpin sosial dan politik (umat).
Ketika mengkaji kehidupan Rasul mulia di semua sisi kehidupannya itu, tampak sekali bahwa beliau menjadikan cinta dan kasih sayang sebagai landasannya. Tulusnya cinta dan besarnya kasih sayang beliau, tercurah kepada siapa pun yang menjalin relasi dengannya. Lebih dari itu, manusia agung ini kerap menunjukkan kasih sayang terhadap orang-orang yang memusuhi serta mendzaliminya. Malahan, di balik ketegasan memberikan “hukuman” terhadap musuh-musuh Islam, acapkali beliau pun memperlihatkan kasih sayangnya terhadap mereka. Hal ini antara lain tampak dari kemauan Sang Nabi untuk mengampuni bahkan mengangkat derajat mereka.
Mengingat begitu tulusnya cinta atau kasih sayang yang mendasari setiap pergaulan Nabi, termasuk kemampuannya menghadapi beragam persoalan melalui pendekatan perasaan tertinggi kemanusiaan ini, maka dapat dikatakan bahwa beliau telah menerapkan “manajemen cinta”.
Banyak sekali para para pakar yang mendefinisikan pengertian “manajemen” (management). Namun dalam pengertian sederhana, “manajemen” dapat dipahami sebagai “seni melaksanakan dan mengatur”.
Kemudian, “cinta”. Secara psikologis, cinta adalah sebuah emosi dari kasih sayang. Dalam konteks filosofi, ada yang berpendapat bahwa cinta merupakan sifat baik yang mewarisi semua kebaikan, perasaan belas kasih dan kasih sayang. Pendapat lainnya, cinta adalah sebuah aksi/kegiatan aktif yang dilakukan manusia terhadap objek lain, berupa pengorbanan diri, empati, perhatian, memberikan kasih sayang, membantu, menuruti perkataan, mengikuti, patuh, dan mau melakukan apapun yang diinginkan objek tersebut.
Erich Fromm, seorang psikolog Jerman yang konon dikenal ahli dalam masalah cinta menjelaskan, bahwa kebutuhan manusia yang paling dalam adalah kebutuhan untuk mengatasi keterpisahannya dan meninggalkan penjara kesendiriannya. Kegagalan untuk mengatasi keterpisahan ini yang akan menyebabkan gangguan kejiwaan. Fromm mengungkapkan idenya mengenai cinta sebagai jawaban dari masalah tersebut.
Karena “cinta” yang dimaksud adalah cinta yang islami, tentunya pemahaman dari pengertian “cinta” ini juga harus berdasarkan nilai-nilai Islam. Inilah pemahaman cinta yang lebih luas, mendalam, serta bersifat hakiki.
Syaikh Ibnul Qayyim Al-Jauziyah, seorang ulama dari Damaskus di abad ke-7, melihat pemahaman cinta dalam ruang lingkup yang luas. Bahkan beliau mengemukakan adanya 6 peringkat cinta, yang dua di antaranya adalah shababah dan ‘itfh. Shababah yaitu cinta yang mampu melahirkan ukhuwah islamiyah. ‘Itfh (simpati) adalah rasa cinta yang memunculkan kecenderungan untuk menyelamatkan dan membantu sesama.
Nah, dengan demikian, kalau mengacu pada kedua pemahaman tersebut; “manajemen” dan “cinta”, maka “manajemen cinta” yang dimaksud adalah seni melaksanakan dan mengatur hubungan (antarmanusia) yang dilandasi oleh keinginan untuk melahirkan ukhuwah islamiyah, membantu serta menyelamatkan sesama.

Di dalam cinta atau kasih sayang yang diteladankan Nabi Saw terkandung nilai-nilai produktif dan konstruktif seperti: menyebarkan salam, menjaga dan melindungi kehormatan manusia, mengokohkan keimanan, berlaku adil, sabar, pemaaf, tegas, ulet, memberikan pendidikan dan bimbingan, mempererat hubungan, menghormati, rendah hati, senang membantu, dermawan, memuliakan, memberikan rasa nyaman, menunjukkan perhatian, menjaga nama baik, mendoakan kebaikan, tabah, konsisten, berkemauan kuat, menjauhi sikap egois, memberikan kepercayaan, berani, menjaga citra diri, memotivasi, dan masih banyak lagi. Semua nilai, sifat, sikap, atau perilaku yang baik-baik itu adalah cerminan atau konsekuensi dari rasa cinta terhadap kebenaran dan/atau kasih sayang terhadap sesama.
Dalam buku Manajemen Cinta Sang Nabi Saw (2011), secara cukup gamblang diungkapkan langkah-langkah teoritis dan praktis dalam mengimplementasikan nilai-nilai cinta atau kasih sayang sesuai kapasitas dan peran kita dalam semua aspek kehidupan. Baik dalam kehidupan berumahtangga dan berkeluarga, sosial, bisnis, dakwah, militer, hingga politik.
“Manajemen Cinta Sang Nabi Saw” juga memaparkan beragam teori pengembangan diri (self development) dan kepemimpinan (leadership) yang menjadi rahasia kesuksesan Nabi Muhammad Saw di semua aspek kehidupannya. “Manajemen Cinta Sang Nabi” adalah sumber inspirasi dan motivasi dalam memenej kehidupan pribadi dan sosial kita agar meraih kesuksesan dan kebahagiaan tanpa batas.

Hidup Sehat dengan Meneladani Rasulullah


Sopian Muhammad


Dalam semua hal, Muhammad Rasulullah Saw memang merupakan teladan yang baik (uswatun hasanah). Coba kita cermati sikap-sikap beliau, rutinitas beliau, atau kegemaran beliau. Ternyata, dibalik semua itu terkandung berbagai keutamaan. Termasuk keutamaan yang memiliki pengaruh positif bagi kesehatan. Baik kesehatan secara jasmani (tubuh), maupun kesehatan secara rohani (kejiwaan).
Seperti apakah sikap, rutinitas, atau kegemaran beliau yang berdampak pada kesehatan jasmani dan rohani itu? Berikut ini diantaranya:

1) Bangun tidur sebelum waktu subuh. Sebelum subuh, Rasulullah Saw bangun dari tidurnya untuk mendirikan shalat Subuh. Bahkan jauh sebelumnya, yakni pada sepertiga malam terakhir, beliau pun sudah terbiasa bangun dan melaksanakan shalat malam (qiyamul lail).
Menurut seorang ahli kesehatan, udara pada sepertiga malam terakhir dan waktu subuh, kaya dengan oksigen serta belum tercemari polutan. Hal ini sangat bermanfaat bagi optimalisasi metabolisme tubuh sehingga membantu menjaga vitalitas.
Selain itu, memulai hari dengan membiasakan bangun subuh, berdampak pada tumbuhnya semangat untuk menjalani rutinitas keseharian. Kemudian, secara psikis, membiasakan bangun pada waktu subuh, juga dapat memperkuat pikiran dan menyehatkan perasaan.





2) Memperbanyak shalat sunah. Menyegerakan shalat (wajib) dan memperbanyak shalat sunah adalah kebiasaan Rasulullah yang tidak pernah ditinggalkan. Di samping sebagai suatu bentuk ritual ibadah kepada Allah Swt, berdasarkan suatu penelitian, gerakan-gerakan dalam shalat memiliki pengaruh yang baik bagi optimalisasi metabolisme tubuh dan kesehatan. Kini sudah banyak tulisan yang mengungkap mengenai kesehatan di balik setiap gerakan dalam shalat.
3) Menjaga kebersihan. Menjaga kebersihan (dan kerapihan) adalah kebiasaan lain dari pola hidup Rasulullah Saw. Dari sekian kebiasaan beliau dalam menjaga kebersihan, diantaranya adalah – sekurang-kurangnya – dengan mencuci rambut dan memotong kuku setiap hari Kamis atau Jum’at.
Untuk menjaga kebersihan atau kesehatan mulut dan gigi, pada pagi hari, Rasulullah biasa memakai siwak. Siwak mengandung flour yang bermanfaat dalam menjaga kesehatan gigi dan gusi. Sikat gigi dengan menggunakan odol secara rutin adalah rutinitas yang kini sudah biasa dilakukan dalam menjaga kebersihan dan kesehatan gigi. Sedangkan bersiwak menjadi salah satu sunah Nabi yang memiliki keutamaan tersendiri.
Di samping itu beliau pun tentunya tidak lupa untuk senantiasa membersihkan anggota tubuhnya, baik melalui mandi ataupun wudlu. Bagi Rasulullah – dan kita sebagai umatnya – menjaga kebersihan tidak sekadar sebagai pangkal dari kesehatan. Lebih dari itu, menjaga kebersihan merupakan sebagian dari iman.
4) Senang berjalan kaki. Kebiasaan lain Rasulullah Saw adalah kegemarannya berjalan kaki. Entah itu ke masjid, mengunjungi sahabat, ke medan jihad, dan sebagainya.
Berjalan kaki merupakan kebiasaan yang baik bagi kesehatan. Dengan berjalan kaki, keringat akan mengalir, sehingga pori-pori terbuka dan peredaran darah pun menjadi lancar.
Menurut hasil penelitian, kebiasaan berjalan kaki sangat baik untuk mencegah penyakit jantung, ataupun berbagai penyakit lainnya.
Inti pembahasan ini adalah pentingnya menerapkan kebiasaan berolahraga yang baik dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai syariat.






5). Tidak makan banyak dan berpuasa. Junjungan kita Rasulullah Saw tidak pernah makan banyak. Hal ini ditegaskan dalam salah satu haditsnya: "Kami adalah sebuah kaum yang tidak makan sebelum lapar dan bila kami makan tidak banyak (tidak sampai kekenyangan)"
Terlalu banyak makan malah bisa menimbulkan dampak tidak baik. Misalnya, membuat malas, kegemukan, serta bisa menimbulkan beragam penyakit tertentu.
Berpuasa merupakan salah satu kebiasaan lainnya yang dilakukan Rasulullah. Berpuasa juga dapat dijadikan sebagai upaya agar kita tidak banyak makan, namun teratur dalam mengatur jadwal makan.
Kini sudah banyak terungkap pengaruh berpuasa bagi kesehatan tubuh dan rohani. Karenanya, perbanyaklah puasa sunah dan jangan tinggalkan puasa wajib.
6) Tidak pemarah. Kalau Rasulullah tidak biasa marah, itu karena beliau tahu betul bahaya menjadi pemarah. Ilmu pengetahuan modern pun telah mengungkapkan, bahwa orang yang suka marah (pemarah) rentan terkena berbagai penyakit tertentu seperti stress, serangan jantung, stroke, dan yang lainnya.
Bagaimana menghilangkan kebiasaan marah?
Ada beberapa cara untuk menahan atau mengendalikan marah diantaranya: segera membaca ta 'awwudz, karena amarah itu dari setan dan beristighfarlah. Lebih baik lagi dengan langsung mengambil air wudlu untuk mendinginkan kepala dan hati.





7) Tidak iri dan dengki. Rasulullah amat menjauhi sifat dan sikap iri dan dengki. Iri dan dengki menimbulkan keresahan hati dan kesempitan jiwa yang hanya akan menguras energi sehingga kondisi tubuh melemah. Akibatnya tubuh mudah terserang penyakit. Padahal, "Mu'min yang kuat adalah lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada mu'min yang lemah ......"(HR Muslim). Karenanya, sebagai pengikut Rasul, mari kita menjadi mu’min yang kuat dengan mengikuti segala sikap, rutinitas, dan kegemaran beliau agar kita menjadi pribadi yang sehat dan kuat, baik dalam tinjauan ruhani maupun fisik.
Langkah-langkah di atas bisa mulai diterapkan kepada anak-anak di rumah, terutama bagi anak-anak usia tertentu yang dianggap memiliki kemampuan untuk melaksanakannya. Keteladanan langsung dari para orangtua turut menentukan keberhasilan upaya tersebut. (MI-Spn).

Bermula dari Hati

Sopian Muhammad



Hati adalah letak cinta dan kasih sayang bersemayam. Curahan cinta dan kasih sayang yang selalu diharapkan dari suami/istri terletak di hatinya. Siramilah hati sang suami/istri dengan segala sikap dan perilaku yang dapat menyenangkan hatinya. Bermain dan nyanyikanlah simponi cinta dan kasih sayang dalam kehidupan berumah tangga yang kunci dasarnya adalah: MENYENTUH HATINYA.
Banyak suami/istri yang mengabaikan pentingnya peranan hati. Maka tidak mengherankan apabila banyak juga para suami/istri yang kemudian tidak lagi mencintai dan menyayangi pasangannya.
Ingatlah selalu, bahwa perasaan itu sangat halus. Begitu halusnya, seorang istri/suami seringkali tidak menyadari bahwa sikap dan perilakunya selama ini ternyata telah menimbulkan gumpalan perasaan-perasaan tidak menyenangkan dalam hati pasangannya. Apabila gumpalan-gumpalan itu tidak segera mencair, niscaya lambat laun seorang suami/istri akan mengeras dan bereaksi dengan berbagai sikap dan perilaku yang sudah pasti tidak diharapkan pasangannya.
Berbagai hal yang harus selalu diperhatikan berkenaan dengan hati:
• Sebagian “hati” kita adalah juga milik sang suami/istri. Begitu pula sebaliknya. Jadi, kita tidak bisa menyenangkan hati sendiri sementara kita tidak mempedulikan hati suami/istri. Tetapi jika kita mampu menyenangkan hati pasangan tetapi hati kita sendiri sesungguhnya merasa kurang senang – selama yang dilakukan itu tidak menyimpang dari norma agama – sesungguhnya kita telah menunjukan kebesaran hati.
• Berinstrospeksi dan berempati adalah sikap yang sangat penting untuk bisa menyelami hati suami/istri. Berinstrospeksi berarti kita mengevaluasi kekurangan dan kelemahan diri. Sedangkan berempati berarti kita berusaha memahami perasaan dan keinginan pasangan.
• Jagalah hati dari segala noda-noda dosa. Sebab noda-noda dosa hanya akan membuat hati menjadi keras dan kasar. Mengingat dan menyebut-nyebut asma-Nya sangat dianjurkan untuk melembutkan hati .
Seandainya seorang suami/istri tidak mencintai dan menyayangi pasangan hidupnya, jawaban sederhananya adalah karena semuanya BERMULA DARI HATI. Jangan biarkan hati kosong. Isilah hati dengan rasa cinta terhadap suami atau istri. Ingat kebaikan-kebaikannya. Maafkan kesalahan-kesalahannya. Tunjukkan begitu besarnya perhatian kita terhadapnya.
Begitu pula dengan atau terhadap anak. Tunjukanlah hal yang serupa agar hati ditumbuhi dengan perasaan-perasaan memuliakan sehingga diri kita pun dimuliakan Tuhan. (MI-Spn)